Pages

RSS

Selamat datang di Cermin Sebuah Titik
Refleksi Sunyi
Sunyi tak selamanya sepi
Sendiri hanya 'tuk mengenali pribadi
Dyah Prabaningrum (D*pra)

Sabtu, 25 Desember 2010

hanya sebuah curhatan

pernah suatu ketika aku bercakap dengan seseorang, sambil bergurau padanya ku bertanya
"Bila aku jodohmu kelak bagaimana?"
dia menjawab," aku tidak suka wanita yang berfikir terlalu modern."
"Modern gimana, bajuku aja jadul,hahahah." tawaku
"bukan masalah baju, tapi pikiranmu, aku ingin wanita yang seutuhnya berada di rumah, aku nggak suka wanita karir.'
sejenak aku diam. Ku berfikir, apa aku pernah bilang aku ingin menjadi wanita karir?
ada pula ketika ku berkata pada temanku, "aku ingin menjadi ibu rumah tangga."
temanku langsung bilang,"sttt..dengarkan momen yang gak biasa ki..."
pernah pula ketika ku berbincang tentang masa depan dengan sahabatku,ia menanggapi," ah kalau kamu mending nikah dulu baru kerja, aku tahu tipemu."
padahal...dalam jiwaku ada sebuah hasrat besar ketika rumah tanggaku kelak telah berkecukupan aku mampu menjadi ibu rumah tangga seutuhnya...heheh

Read More......

asaku

aku tak tahu akan sampai sejauh mana aku melangkah... yang pasti ada sebuah harapan besar menggantung di langit-langit pengharapan pada peta hidupku. Dulu aku sangatlah suka mendongeng dan kemudian sejak kelas 3 sd aku sudah mulai menulis cerpen, smp aku telah suka menulis puisi, dan sma ku ulangi kebiasaan menulis baik cerpen maupun puisi..tapi aku lupa mengarsipkannya, hingga tulisan-tulisanku itu entah lari kemana.. kuliah aku masuk di jurusan sastra indonesia dan aku menulis apa saja, yang ku rasa, yang ku lihat, dan yang aku dengar.. aku ingin jadi penulis dan aku ingin terus berinteraksi dengan sesama maka ku ingin menjadi penulis dan dosen..tapi ku juga ingin tetap mengasuh anak-anakku kelak... Tuhan hanya Kau Yang Maha Bijaksana menentukan arahku kelak, aku hanya ingin terus menulis untuk itu aku ingin menjadi penulis, terus berbagi ilmu karena itu aku ingin menjadi dosen, tapi aku juga ingin menjadi ibu dan istri yang baik buat anak dan suamiku kelak sebab Aku mencintai mereka yang belum aku temui,dan ku pinta tangan, raga, dan hati ini mampu ku tata dan ku jaga untuk mereka yang akan ku cintai nantinya

Read More......

Kamis, 16 Desember 2010

guru, digugu lan ditiru, relevankah?

tulisan ini pernah dimuat di harian semarang

GURU,”DIGUGU LAN DITIRU”
RELEVANKAH?
Oleh: Dyah Prabaningrum

Saya teringat pada kerata basa tentang guru, bahwa guru sejatinya digugu lan ditiru. Ingatan saya tentang kerata basa tersebut membawa ingatan saya terhadap sejarah, lebih tepatnya cerita tentang wali.

Alkisah, dahulu kala ada perampok yang menghalangi perjalanan Sunan Bonang. Ketika Sunan Bonang diminta turun dan menyerahkan barang berharga miliknya, Sunan Bonang kala itu tidak membawa barang berharga seperti yang diinginkan si perampok, perampok itupun mengancam akan melukai Sunan Bonang. Sunan Bonang bertanya pada perampok apa yang diinginkannya, sang perampokpun menjawab ia menginginkan barang berharga seperti uang ataupun emas. Setelah mendengar pernyataan perampok itu, Sunan Bonang menunjuk pohon aren dan seketika itu manggar aren berubah menjadi emas. Melihat hal tersebut perampok yang tadinya “bengis” meminta ampun dan ingin menjadi murid Sunan Bonang.

Sunan Bonang memaafkan perampok yang ternyata bernama Raden Sahid. Singkat cerita, Sunan Bonang menancapkan batang ke tanah ditepian kali. Untuk menjadi murid Sunan Bonang, ia memerintahkan Raden Sahid untuk menunggui tongkat itu sampai ia kembali dengan syarat tidak boleh beranjak sedikitpun. Sesuai dengan falsafah Jawa Raden Sahid tanpa bertanya dan langsung patuh (nggugu) Sunan Bonang.
Sunan Bonangpun meninggalkan Raden Sahid yang telah diutus menunggui tongkat tersebut. Tujuh tahun berlalu, tongkat tersebut telah menjadi pohon dan tanah di sekitar sungai itu telah ditumbuhi semak belukar. Raden Sahid seperti menjadi patung dan tidak pindah sedikitpun dari tempat, dimana Sunan Bonang menyuruhnya menunggui tongkat tersebut pertama kali. Sunan Bonang trenyuh, dan berkata pada Raden Sahid,”Bangunlah.” Raden Sahid kembali menjadi manusia normal, sejak saat itu Raden Sahid diberi gelar Sunan Kali Jaga.

Cerita itu terasa sangat sulit ditangkap nalar bagi”mereka” yang berfikiran logis. Bagaimana mungkin seorang manusia mampu berdiri selama itu tanpa bergeming sedikitpun. Cerita tersebut berikut variannya lebih bermakna simbolis menurut saya, begitu pula Gunawan Budi Santosa pada bukunya Edan-Edanan di Zaman Edan. “Kali” pada zaman dahulu adalah jalur transportasi yang cukup vital, yang merupakan simbolisasi urat perekonomian, sedang perintah menjaga batang yang ditancapkan di dekat sungai adalah simbol dari menjaga sungai dan sekitarnya. Sebagai seorang “gali” (yang ingin bertobat) tentu Raden Sahid paham betul keadaan sekitar sungai beserta “pemutus urat nadi perekonomian” yaitu perampok-perampok yang sering berada disekitar sungai itu. Adapun simbol lain adalah keingintahuan tentang keteguhan hati Raden Sahid untuk menjadi muridnya. Alhasil setelah proses yang cukup panjang (selama tujuh tahun) Raden Sahidpun berhasil “jaga kali” dan mendapatkan gelar”Sunan Kali Jaga.”
Simbolisasi di atas adalah suatu cara pandang, yang merupakan spekulasi pemikiran. Cara pandang dapat bernilai benar dan keliru. Ketika memang cerita tentang Sunan Kali Jaga adalah sebuah fakta, maka ada pertanyaan di benak saya, benarkah Sunan cerdas yang berdakwah di Jawa itu, menerima langsung titah sang guru, tanpa bertanya, tanpa meminta penjelasan, tanpa sebuah kekritisan? Pikiran saya membuat saya bertanya pada seorang sarjana Pendidikan Sejarah. Kata Muhammad Iqbal Birsyada, S.Pd, Sunan Kali Jaga waktu itu memang diceritakan langsung patuh terhadap Sunan Bonang. Begitu pula, ketika saya bertanya pada Isa Thoriq Amrullah yang pernah bersekolah di pondok Muallimin Yogyakarta, jawabannyapun sama.

Dan lagi-lagi pikiran saya berspekulasi. Mungkin yang akan disampaikan pencerita pada pendengar adalah sebuah falsafah yang selama ini sering kita dengar, bahwa kita sebagai murid wajib nggugu guru, patuh terhadapnya. Raden Sahid patuh dimungkinkan atas pemikiran bahwa Sunan Bonang adalah Guru yang baik, guru yang rendah hati. Mengapa saya berfikiran demikian? Karena di awal, Sunan Bonang tidak langsung dengan congkaknya menunjukkan kemampuan”gaib” yang ia miliki. Ia sabar sejenak, hingga Raden Sahid yang menjelaskan apa maunya. Bila dikorelasikan dengan keadaan sekarang, mungkin masih banyak guru yang seperti sunan Bonang, yaitu laku yang sabar dalam mendampingi murid belajar. Guru seperti itu tentu saja patut digugu dan ditiru. Tapi bagaimana bila kita menemukan guru yang sedikit kurang sabar? Yang menganggap semua penjelasannya paling benar tanpa referensi yang jelas dalam penyebutannya? Dan tanpa penjelasan yang mewadai argumennya? Dan marah ketika apa yang dijelaskan ditanyakan kembali atau disanggah oleh anak didiknya karena penjelasannya agak berseberangan dengan referensi yang dibaca muridnya? Atau bagaimanakah bila kita diajar guru yang sering kosong pada jam-jam mengajarnya, kemudian memberi tugas, dan ketika muridnya salah mengerjakan tugas yang diberi, ia marah? Masihkah kita pantas “menggugu” ucapannya dan “meniru” lakunya?

Guru memang lebih berpengalaman dari kita, lebih tinggi pendidikannya dari kita, akan tetapi tak dinafikkan, walau manusia mahluk paling sempurna diantara yang lainnya, khilaf, salah, dan lupa kadang ada di dalam setiap jiwa manusia. Wallahu’alam.
Segala kekurangan milik penulis dan kebermanfaatan datangnya dari Allah. Billahifisabililhaq Fastabiqul Khairat.

Kabid Keilmuan, IMM HAMKA Semarang

Read More......

Selasa, 14 Desember 2010

lomba-lomba menulis

bagi temen2 yang pengin tahu lomba menulis... add ajah fb-ku dyah insyaAllah bisa..di notesku ada lomba2 menulis lho...

Read More......

Sabtu, 11 Desember 2010

warnai duniamu dengan tulisan

Warnai Dunia Dengan Tulisanmu
Oleh Dyah Prabaningrum
IMM HAMKA-Unnes

Hal yang paling menyenangkan di dunia ini setelah kita mengenal kata dan mampu membaca serta menulis, adalah menulis. Dengan menulis kita mampu mengekspresikan diri kita secara bebas. Di kala kita sendiri, di kala banyak sekali masalah yang melanda diri kita, di kala orang lain tak mau mendengarkan kita, maka tulislah apa yang ada di benak kita. Seperti pernah disinggung oleh Annie Dillard dimuka umum ketika menerima penghargaan Pulitzer

“Rangkaian kata dalam tiap kalimat, menunjuk hatimu sendiri, sehinggan kamu merasa menjadi ada, tidak sendirian dalam mengarungi hidup.Tiap huruf dalam kata – katamu yang kamu rajut, menunjukkan arti siapa kamu dan apa yang ingin kamu capai! Cepat atau lambat dengan demikian kamu tidak akan kehilangan makna hidup.”

Ya begitulah menulis, dengan menulis kita bisa merasa diri kita ada karena apa yang kita rasa tersampaikan. Dan di dalam tulisan kita, kita bebas memilih menjadi apa yang kita mau. Misalnya saat kita menulis cerpen, di dalamnya kita bebas menjadi yang kita suka, akankah kita menjadi tokoh yang protagonis ataukah kita menjadi tokoh yang antagonis. Kita yang lemah dan tak sanggup membalas penganiayaan seseorang pun menjadi kuat lewat tulisan atau lebih terhormat karna tulisan, seperti yang dialami oleh penulis muda yang kisahnya banyak menginspirasi semua orang.
Joni Ariadinata, ia hanya seorang petani di Desa Majapahit, Majelengka, dia berkemauan keras untuk bersekolah dan ia pun mengadu nasibnya di Yogya sebagai buruh bangunan di siang hari, dan sebagai tukang becak di malam hari. Ketika ia menjalani profesi menjadi tukang becak, peristiwa bersejarah itu terjadi. Ia ditinju seorang gali pada mulutnya. Ia sedih, ia marah. Kata Joni dalam majalah Annida,” Saya ngangres, sedih pada badan saya yang kecil, pada otot saya yang keremprempeng, dan kesialan nasib saya kenapa harus bertemu mahluk yang begitu kasar. Tapi mau apa? Melawan tidak berani. Akhirnya saya pulang dengan penuh dendam.
Sesuatu yang besar dimulai dari ia bertemu seorang penulis produktif Zainal Arifin Thoha yang meminjamkan pada Joni cerpen sederhana untuk dibacanya. Ia pun keranjinan membaca dan mencoba menulis di media massa. Penolakan demi penolakan kerap terjadi, tapi ia tak patah semangat. Berapa banyak cerpen yang di tolak?

“Saya tak pernah menghitung dengan cermat. Barang kali seratus, dua ratus, atau bahkan lima ratus? Satu hal yang membuat saya tabah adalah kesadaran spiritual bahwa saya diwajibkan terus menerus berusaha”,kata Joni menuturkan sebagaimana dimuat dalam majalah Annida Jumbo edisi Pertama.

Dan Alhasil sekarang ia tak harus lagi menjadi tukang bangunan ataupun tukang becak . Ia terbang kemana – mana, ke Paris untuk membacakan cerpen dan memberikan motivasi, ke Den Haag juga dalam rangka yang sama, ke Malaysia untuk memenuhi undangan mengikuti PSN-X dan pertemuan Sastra Malaysia -1 di Johor Bahru Malaysia dan masih banyak lagi.

Karena tulisan pula peradaban baru dimulai, Negara Yahudi Raya yang bernama Israel barang kali tidak pernah ada seandainya seorang Benyamin Se’eb alias Teodore Herzl tidak menulis sebuah buku tipis bertajuk Der Judenstaat (The Jewish State), bersama dengan karya fiksinya Altheuland ( Old New Land), buku inilah yang menginspirasi gerakan masyarakat Yahudi untuk merampas hak - hak orang Palestina.

Melihat kenyataan di atas akankah kita tetap berpangku tangan? Ayo mulailah menulis, goreskan tinta kita untuk ikut mewarnai dunia, masuklah ke dalam komunitas tulis menulis, missal BP2M, Laboratorium Jurnalistik, Forum Lingkar Pena, atau lainnya. Mungkin pula bisa memilih jalan lain yaitu mencoba menjadi penulis lepas. Di situ yakinlah bahwa kita akan banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan tentang dunia kepenulisan. Bila nggak ada gimana? Okey bila memang tidak ada, carilah teman yang hobi menulis, bentuklah komunitas sendiri dan bangun jejaring dengan orang – orang yang sudah berpengalaman di bidang menulis. Kalau masih nggak ada? Baiklah, temen – temen bisa bergabung dengan milis – milis kepenulisan di internet, grub-grub di fb atau menulis buku diary, ya dimulai dari menulis buku diary! karena temen – temen akan terlatih dan terbiasa menulis. Bukankah So Hog Ghie terkenal karena catatan harian? Jadi tunggu apa lagi? Mulailah menulis! Warnai dunia dengan tulisanmu!

Billahifisabillah Fastabiqulkhairat…..Abadi Perjuangan…….

Read More......

Minggu, 28 November 2010

bekerja keras itu perintah agama

Analisis cerpen “Robohnya Surau Kami” Karya A.A Navis
kajian pragmatik


Oleh:
1. Marmita Nugraheni (2150408007)
2. Ani Safitri (2150408008)
3. Siti Zumaroh (2150408012)
4. Dyah Prabaningrum (2150408015)
5. Eni Zahrotul Muafa (2150408020)

Menurut M.H. Abrams ada empat macam pendekatan terhadap terhadap karya, salah satunya pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik yaitu pendekatan terhadap karya sastra dengan jalan menghubungkan karya sastra dengan pembaca. Sedang menurut Horace, karya sastra berfungsi duice et utile. Duice berarti indah, dan utile berarti berguna. Maksudnya adalah bahwa karya sastra dapat memberikan rasa keindahan dan sekaligus kegunaan kepada para pembaca. Dalam pengertian lain, karya sastra itu menghibur dan bermanfaat. Menghibur sama dengan “tidak membosankan”, “bukan kewajiban” dan “memberikan kesenangan, bermanfaat”.
Dalam cerpen “robohnya Surau Kami” Karya A.A Navis selain menggunakan bahasa yang mengalir dan indah juga memuat pelajaran-pelajaran berharga yang bisa diambil oleh pembacanya. Pelajaran yang dapat diambil dari cerpen tersebut adalah bahwa untuk menunjukan ketaqwaan terhadap Tuhan tidak hanya dengan beribadah saja, tetapi juga memikirkan kehidupan dunia dengan bekerja keras dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Dalam cerita itu diceritakan seorang yang ahli ibadah yang sering dipanggil Kakek, si Kekek itu selalu beribadah tanpa memikirkan keluarganya, suatu hari ia bertemu dengan pembual yang bernama Ajo sidi. Ajo sidi bercerita bahwa si Kakek dan orang-orang seperti Kakek tidak masuk surga, malah masuk neraka. Dalam bualanya terdapat dialog Tuhan, Kakek, dan orang – orang yang berkarakter seperti Kakek yang intinya mereka protes terhadap Tuhan mengapa mereka dimasukan di dalam nereka dan Tuhan menjawab bahwa Tuhan tidak gila pujian atau sanjungan tetapi Tuhan juga menginginkan mahluknya selain beribadah juga bekerja keras untuk penghidupan yang layak.
Bagi A.A Navis orang yang hanya beribadah tanpa memikirkan sisi-sisi yang lain: humanis dan intelektual mereka adalah orang-orang yang egois karena mereka beribadah agar tidak dimasukan ke neraka.
Sebelum menganalisis cerita tersebut dengan pendekatan pragmatik, kami akan menganalisis watak tokoh untuk mempermudah analisis kami.
Kakek penjaga surau memiliki watak yang tekun beribadah tetapi tidak bertanggung jawab dengan istri dan anak-anaknya, juga tidak mempunyai pekerjaan tetap selain terus beribadah (egois).
Ajo sidi berwatak suka membual dengan imajinasinya.
Aku teman baik kakek yang perhatian terhadap kakek.
Dalam pendekatan pragmatik ini kami memfokuskan kajian kami pada bualan ajo sidi terhadap kakek. Di dalam cerita tersebut ada hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi pembacanya. Berikut adalah kutipannya
“Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka hafal di luar kepala.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.
Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau
bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.”

Pada kutipan tersebut menunjukan apa yang telah kita baca seharusnya juga kita masukan dalam hati dan difikirakan untuk diaplikasikan dalam perbuatan.

Misal kita telah menghafal surat Al-Ma’un maka tidak hanya sekedar dibaca untuk mengaji atau untuk bacaan sholat tetapi juga derapkan dalam kehidupa sehari-hari. Di dalam surat Al-Ma’un itu berartikan
1. Taukah engkau yang mendustakan agama ?
2. Yaitu orang-orang yang menghardik (tidak menghiraukan anak yatim)
3. Dan tidak mengerjakan untuk memberi makan orang miskin
4. Maka celakalah bagi orang-orang yang sholat
5. Yang mereka lalai dari sholatnnya
6. Yaitu mereka yang berbuat riya
7. Dan mereka enggan memberi pertolongan.

Maka penerapan dalam kehidupan sehari-hari adalah mencoba menyantuni anak yatim, tidak berbuat riya, dan suka memberikan pertolongan pada orang lain, jadi bukan hanya sekedar dihafal atau digunakan sebagai bacaan sholat. Ada pula ayat al-qur’an yang lebih tepat dengan persoalan diatas yaitu ayat al-insyiroh ayat 7:
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain

Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) bila telah selesai berdakwah maka beribadatlah kepada Allah; apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: Apabila telah selesai mengerjakan shalat berdoalah. Itu bukti bahwa dalam Islam Allah menyuruh umatnya bekerja keras.

Teks cerpen di atas juga menyinggung seseorang yang hanya suka beribadah tanpa mau berkerja keras untuk kehidupan dunia, karena beribadah itu tidak mengeluarkan peluh, itulah yang menjadi sebab kenapa orang-orang itu dimasukan kedalam neraka (dalam cerpen tersebut)
Sebenarnya salah satu yang dikehendaki islam dari umatnya adalah agar mereka menjadi umat yang gemar bekerja, baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat.
Dari Anas Ra. Rosulullah Saw bersabda : “Perbaikilah urusan dunia kalian dan beramallah untuk akhirat seakan-akan kalian akan mati besok”. (HR. ad-Dailami)
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”. (Riwayat Ibnu Asakir)

Oleh karena itu, seorang muslim yang suka bekerja keras untuk mencari kepentingan dunia dalam rangka menggapai keridhoan Allah, pasti akan mendatangkan kecintaan Allah kepadanya. Begitu pula sebaliknya, Allah membenci orang-orang yang malas dan berpangku tangan.
“Sesungguhnya Allah mencintai orang mukmin yang memiliki pekerjaan“. (HR. Thabrani).
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (lelah) dalam mencari rizki yang halal” (HR. ad-Dailani)

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah” (HR. Muslim dari Abu Hurairoh Ra).
Barang kali karena itulah AA.Navis menyindir orang-orang yang hanya mementingkan kehidupan akhiratnya tanpa memikirkan dunia dengan cerpennya yang berjudul “Robohnya Surau Kami”.

Diakhir cerpen itu AA.Navis juga seolah-olah ingin memperlihatkan tidak selamanya orang yang terlihat selalu ibadah adalah orang yang kuat hatinya, dengan ia menceritakan pada akhirnya Kakek itu mati bunuh diri karena strees gara-gara memikirkan pembual Ajo Sidi. Itulah yang menunjukkan kakek itu sebenarnya lemah, lemah sekali imannya. Karena bunuh diri dilarang dalam agama dan dilaknat oleh Allah. Dan apabila dia benar-benar beriman, harusnya dia tidak takut atau resah terhadap kata-kata Ajo Sidi karena dalam surat Al-ahqaf:13 disebutkan

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah, kemudian ia tetap istiqomah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita”.
Begitu pula dalam surat Al-An’am ayat 48
“Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”.


Secara tersirat AA. Navis telah menunjukkan bahwa sesungguhnya kakek itu “tidak benar-benar beriman”.

Read More......

Jumat, 26 November 2010

tulisan yang tersimpan lama

Tri Dharma PT dan Bencana

Bencana terus berdatangan dari banjir Wasior, Tsunami Mentawai, Gunung Merapi yang meletus, dan mangkang yang diterobos banjir. Duka itu pasti karena musibah datang tak hanya memakan korban materi tapi juga jiwa, halaman twitter dan facebook yang sebagian besar merupakan kenarsisan kini berubah menjadi tulisan bernada empati. Bukan hanya di dunia maya, di dunia nyatapun hampir semuanya membahas bencana, dari membahas jumlah korban sampai membahas kuliah yang diliburkan untuk tempat pengungsian. Melihat kenyataan itu saya menjadi teringat sebuah puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul”Jadi” katanya tidak setiap derita//jadi luka.
Bencana tidaklah lepas dari luka dan derita. Bayangkan berapa banyak kerugian yang diderita, ternak yang mati, rumah yang hancur, dan jiwa yang menjadi korban. Bila bencana didefinisikan sebagai luka dan derita, tentulah hal tersebut akan menjadi sebuah tragedi yang tak kunjung usai, rasanya kita dituntut untuk menilik sisi lain agar lebih arif dan bijak. Benarlah yang ada, sebagian dari bencana itu luka, tapi tidak sebagian yang lain. Ada sebuah hikmah lain yang mampu terurai dibalik segenap peristiwa, termasuk bencana. Rasa empati yang mermbanjiri korban bencana telah mengerakkan sisi humanis kita. Universitas yang selama ini kadang hanya dipandang sebagai penimba teori bahkan kadang dipandang sebagai pencipta jarak terhadap masyarakat, mulai mengaplikasikan salah satu komitmen tridharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian untuk masyarakat. Universitas, baik mahasiswa dan dosen mencoba mendekatkan diri dengan masyarakat. Bermacam-macam cara dilakukan dalam menyalurkan kepedulian terhadap korban bencana alam. Dari yang menjadi relawan mengisi posko-posko di tempat pengungsian, membuat tenda peduli bencana di fakultas, ngamen bareng untuk solidaritas, sampai penggalangan dana di wilayah sekitar kampus dan di sekitar lampu merah, ada juga kampus yang sengaja di liburkan untuk tempat penggungsian, semua itu menjadi suatu tanda bahwa kita telah mencoba untuk peduli.
Namun akan ada baiknya bila kepedulian itu tak hanya mandeg di awal, tetapi ada tindakan lain pascabencana. Mungkin tindakan itu dapat kita adopsi dari tindakan kampus-kampus di Jepang. Jepang yang merupakan negeri rawan bencana, menjadikan kampus sebagai pusat penelitian mengenai kebencanaan secara komprehensif. Hasil penelitian tersebut dimanfaatkan pemerintah dan masyarakat dalam menangani dan memahami bencana alam. Hal itu membuahkan hasil yaitu adanya pengurangan korban bencana alam setiap tahunnya. Dengan begitu Tri Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian terhadap masyarakat, tak hanya jadi wacana, tapi terealisasi nyata.
Segala kebermanfaat datangnya dari Allah, sedang kesalahan murni dari penulis. Billahi fisabilillah fastabiqul khairot…..suwun…..

Read More......

Sabtu, 13 November 2010

aku dan dia bertemu

tersembunyi dan ku ingin berteriak
tersimpan sebuah tanya
akankah aku sepertinya
ah..semoga tidak
Tuhan tahu aku yang begitu tak mampu untuk terlalu keraS..
ku yakin kan Kau jawab mauku dengan senyuman

Read More......

Rabu, 20 Oktober 2010

Perbaiki Kualitas Pendidikan

Berbenah Untuk Kualitas Pendidikan
(Oleh Dyah Prabaningrum)

Tahun Ajaran 2009/2010 telah selesai, dan kini kita akan memasuki Tahun Ajaran Baru 2009/2010. Seperti yang rutin terjadi pada pergantian Tahun Ajaran, pada saat ini dunia persekolahan sedang disibukkan oleh gelombang Penerimaan Siswa Baru . Pihak sekolah, orangtua siswa, dan siswa atau calon siswa yang akan memasuki atau melanjutkan sekolah, saat ini sedang sibuk dengan proses pendaftaran dan penerimaan siswa baru
Masalah klasik dalam dunia pendidikan adalah mahalnya biaya pendidikan. Biaya pendidikan sekarang ini tidak murah lagi karena dilihat dari penghasilan rakyat Indonesia setiap harinya. Walaupun sekarang ini setiap sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tetapi biaya pendidikan masih tetap tinggi. Terlebih lagi biaya pendidikan di perguruan tinggi . Padahal kita tahu bahwa pendidikan adalah hal kebutuhan yang sangat penting guna membentuk generasi muda yang berkualitas. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan tidak begitu memedulikan atau memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya.

Mengenang sejarah peningkatan anggaran pendidikan

Bila kita mengingat sejarah sejak reformasi digulirkan tahun 1998, suara-suara yang menginginkan peningkatan anggaran APBN untuk pendidikan semakin santer terdengar di media massa, di antaranya dengan unjuk rasa di jalanan. tuntutan para pemerhati pendidikan pun semakin nyaring meminta tambahan anggaran pendidikan yang selama Orde Baru tidak lebih dari angka 10% dari APBN, bandingkan dengan Malaysia yang sejak merdeka tidak pernah kurang dari 20% APBN-nya, diantaranya guna membayar guru dan dosen dari Indonesia pada waktu itu.Ternyata salah satu tuntutan reformasi tersebut tidak direspon positif oleh Kabinet Reformasi pasca reformasi, justru sebaliknya, anggaran pendidikan dipotong habis-habisan. Jika era sebelumnya mencapai 9,3% dan terakhir 8%, pada masa Kabinet Reformasi tersebut, angka yang dialokasikan hanya 3,8% (APBN 2001). Alasannya prioritas harus diletakkan pada pengadaan prasarana, seperti penyediaan listrik, pelabuhan, dan sebagainya. Mereka tidak mau menerima pandangan yang menyatakan bahwa investasi terbaik adalah dalam peningkatan kemampuan SDM dan jalan utamanya adalah pendidikan.
Patut kita syukuri pada pemerintahan saat ini pendidikan kian diperhatikan, dari Departemen Keuangan RI, APBN 2005 sampai dengan RAPBN 2010, perkembangan alokasi dan rasio terhadap APBN adalah sebagai berikut :
tahun 2005 dana yang dialokasikan sebesar 33,40 triliun (8,1%); pada tahun 2006 dana yang dialokasikan 44,11 triliun (10,1%); tahun 2007 dana yang dialokasikan naik menjadi 53,07 (10,5%); tahun 2008 dana yang dialokasikan naik lagi menjadi 158,52 triliun (18,5%) dan tahun 2009 dana itu kembali naik menjadi 207,41 triliun (20%).

Sejenak mengenang UU BHP( Badan Hukum Pendidikan ) yang telah dibatalkan

Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut pada tahun 1997 dari 49 negara yang diteliti Indonesia berada di urutan 39. Pada tahun 1999, dari 47 negara yang disurvei Indonesia iif thinking berada pada urutan 46. Tahun 2002 dari 49 negara Indonesia berada pada urutan 47 dan pada tahun 2007 dari 55 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan yang ke 53.
Pikiran positif thinking penulis pada UU BHP adalah mengingat rendahnya mutu pendidikan mungkin pemerintah menginginkan dengan adanya badan hukum, perguruan tinggi dapat melakukan tindakan hukum yaitu dapat membuat ketentuan sendiri dan dapat melakukan inovasi dalam pembelajaran juga dapat melakukan terobosan pendidikan. Semua itu diharapkan dilakukan dengan biaya lebih murah ketimbang bila dilakukan birokrasi pemerintah.
Otonomi yang diberikan oleh UU BHP memang harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan adanya komersialisasi dalam BHP. Namun prinsip tersebut belum dapat direalisasikan, yang pada akhirnya BHP melegalisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Tentunya pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam karena lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di tiap daerah. Hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan. Begitu pula, UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan kepastian hukum.
Hal yang menggelisahkan dari BHP itu sesungguhnya masuknya semangat liberalisme bisnis dalam dunia pendidikan. Pengelolaan pendidikan dengan undang-undang tersebut secara serius diarahkan sebagai lembaga bisnis yang mengabaikan amanat Undang-undang Dasar 1945, dalam konteks memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi segenap rakyat untuk mendapatkan haknya dalam pendidikan.
Lewat UU BHP tersebut, dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi berlomba-lomba mengelola lembaganya seperti perusahaan dengan target konsumen adalah para mahasiswa. Dalam hal pemberian pelayanan, pemberlakuan mahasiswa sebagai konsumen sebagaimana dalam dunia bisnis, mungkin tidak ada masalah, bahkan memang demikianlah idealnya.
Namun, memberlakukan mahasiswa sebagai konsumen bisnis dengan kewajiban mahasiswa sebagaimana dalam bisnis, sudah jelas mengingkari semangat yang dibangun dalam dunia pendidikan kita. Hal paling diabaikan adalah melupakan mahasiswa sebagai generasi muda, tunas bangsa yang seyogyanya menjadi kewajiban kita semua, terutama pemerintah untuk memberikan perlakuan khusus. Perlakukan tersebut antara lain jangan sampai mahasiswa dijadikan obyek, konsumen bisnis yang ditandai mahalnya biaya pendidikan.
Maka tidak mengherankan Putusan Pembatalan UU BHP beberapa waktu yang lalu membuahkan rasa syukur yang mendalam pada sejumlah komponen mahasiswa dan masyarakat juga pemerhati pendidikan yang kontra dan memperjuangkan pembatalan UU BHP.

Banyak pertanyaan yang perlu dijawab
Sebenarnya banyak pertanyaan untuk negeri ini dan para generasi muda, peningkatan anggaran pendidikan seperti yang telah dijelaskan diatas memang mencengangkan, terjadi kenaikan rasio yang sangat signifikan, tapi yang menjadi permasalahan apakah peningkatan anggaran pendidikan itu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan? Apakah anggaran pendidikan yang dalam masa kepemimpinan saat ini telah meningkat hingga 20% telah mampu dinikmati semua rakyat Indonesia? Apakah setelah pembatalan UU BHP pendidikan akan menjadi murah? Dan bisakah pendidikan di Indonesia mengeluarkan output yang berkualitas?
Apakah itu yang disebut peningkatan anggaran pendidikan guna peningkatan kualitas pendidikan? Akan lebih bijak bila kita sama – sama mengevaluasi diri tidak hanya menyalahkan pemerintah. Bila semua komponen tidak mulai berbenah baik pemerintah hingga generasi muda, tidakkah sejumlah perjuangan di atas akan sia – sia?

Read More......

Selasa, 19 Oktober 2010

urgensi diskusi

tulisan dyah ini telah dimuat di Kompas mahasiswa UNNES

URGENSI DISKUSI

Tentunya ada rasa bangga ketika lulus Ujian Nasional kemudian melenggang masuk ke perguruan tinggi. Sebuah jenjang yang berbeda dengan tantangan yang berbeda pula. Diawali dengan membayar sejumlah uang registrasi untuk mahasiswa baru, diteruskan dengan agenda Program Pengenalan Akademik (PPA) yang dulu kerap disebut Ospek merupakan langkah awal sebuah proses sosialisasi. Proses sosialisasi tentunya tidak akan terhenti begitu saja setelah usai PPA. Status siswa yang dulu disandangnya kini beralih menjadi mahasiswa yang berperan sebagai agent of change sekaligus agent of control sehingga mahasiswa mengemban tanggungjawab moral yang berat.
Sebagai agen of change banyak sekali harapan-harapan masyarakat yang bertumpu pada mahasiswa. Mahasiswa diharapkan menjadi aktor sosial yang menuju proses dialektika pendewasaan di segala sisi kehidupan. Selain itu mahasiswa juga diharapkan memupuk kesadaran diri untuk membenahi dan memajukan bangsa. Perubahan dan pembenahan dapat tercapai manakala ada kesadaran (awareness) dari suatu individu yang akan mempersiapkan mereka untuk proses perubahan.
Pada dasarnya manusia itu enggan “dirubah,” bukan enggan “berubah”. Sebagian besar kita beranggapan perubahan itu baru boleh dilakukan kalau ada masalah, saat memasuki tahap krisis. Padahal saat memasuki tahap krisis, perubahan itu hampir tidak mungkin atau mustahil. Perubahan tidak mungkin dapat dilakukan hanya dengan merubah sistem tanpa kesiapan pelaku-pelakunya.
Oleh karena itu diskusi adalah wahana yang tepat untuk menyiapkan mental-mental pelaku perubahan.

• Diskusi
Secara sederhana diskusi merupakan sarana bertukar pikiran antar sesama dengan anggota paling sedikit dua orang ditempat dan waktu tertentu. Kita telah mengenal berbagai macam diskusi dari diskusi formal dengan persiapan yang matang hingga diskusi informal yang merupakan kebiasaan berbincang untuk mengisi waktu luang. Kebiasaan berdiskusi memang telah merebak di berbagai kalangan, hanya saja tujuan dan sasaran kadang belum begitu jelas.
Dalam diskusi apalagi diskusi ilmiah yang bertujuan membuka khasanah keilmuan agar lebih luas yang paling dibutuhkan adalah pemahaman. Pemahaman itu bukan berarti harus tahu segala hal dan harus mengerti seluk–beluk sesuatu sampai ketingkat yang paling tinggi. Paham dengan inti pembicaraan atau diskusi yang dilakukan itu merupakan hal yang cukup, syukur kalau lebih. Dari kepahaman itu akan merekonstruksi pemikiran kita sendiri. Dan dari sebuah pemahan diharapkan muncul paradigma baru dengan pandangan kita yang teruji ketika kita harus mempertahankan pendapat kita.

• Mengenang Gramsci
Antonio Gramsci lahir di Italia 1891 dan meninggal 1937. Daya kritis Gramski sebagai aktivis partai kiri ternyata membuatnya dijebloskan dalam penjara. Namun dalam penjara inilah Gramsci mulai menyusun catatan-catatan, yang kemudian dibukukan, dan diberi judul The Prison Notebooks.
Sebuah perntanyaan sederhana menghantui Gramsci,”Mengapa di Rusia bisa terjadi Revolusi sosialis, sedangkan di Italia tidak?” dari pernyataan inilah Gramsci menemukan ide tentang “hegemoni”. Lantas apa yang disebut Hegemoni?
Menurut Zamzam Muhammad F (2009) Hegemoni adalah seperangkat kekuasaan yang didapatkan oleh kelas penguasa atas kelas yang dikuasai. Namun hegemoni tidak dilakukan dengan cara memaksa/ menekan dengan kekerasan yang sifatnya materiil-misal dengan menodongkan senjata- lebih dari itu, hegemoni di dapatkan dari sebuah keprasahan dan keikhlasan sebuah kelas dikuasai.
Dalam konteks pertentangan antara kapitalis vs sosialis, sulit kiranya bagi kubu sosialis melakukan revolusi jika kubu kapitalis telah berhasil melakukan hegemoni terhadap massa atau rakyat. Hegemoni macam apa hingga kubu kapitalis dapat mempertahankan kekuasaannya?
Terkait dengan buruh-buruh melakukan revolusi sosialis, kegagalan buruh-buruh dalam melakukan perlawanan disebabkan oleh taktik ideologis kubu pemilik modal. Buruh-buruh telah memiliki kesadaran,”Sudah untung kita bisa bekerja.” Padahal, bukan tidak mungkin, kesadaran macam itulah “kesadaran palsu” yang diciptakan oleh kubu pemilik modal untuk meredam “kesadaran perlawanan’’ para buruh. Saran konkretnya adalah ciptakan dulu”kesadaran perlawanan” sebelum melakukan sebuah “ perlawanan.”
Zamzam juga berpendapat semakin luas range virus “kesadaran perlawanan,”semakin mungkin revolusi tercipta dan berbuah hasil. Penulispun sepaham dengan argumen tersebut.

• Komparasi ‘’ketiadaan perlawanan buruh” dengan diskusi
Sekarang kita komparasikan antara ketiadaan perlawanan buruh dengan keengganan berdiskusi dikalangan mahasiswa. Dengan tetap mengasosiakan keduanya pada ide”hegemoni Gramsci.’’ Acapkali ketika kita diajak berdiskusi bahkan ketika melihat ada forum diskusi, kita menolaknya entah langsung diucapkan atau di dalam hati saja,”Untuk apa sih diskusi? Nggak esensial, kebanyakan omong, males, nggak ada gerakan yang nyata, dan sebagainya.’’ Jangan-jangan kesadaran tersebut adalah hasil dari usaha hegemoni yang dilakukan oleh kubu yang menginginkan ketidakkritisan mahasiswa dan masyarakat. Padahal manfaat diskusi adalah melakukan penyadaran intelektual dan tindakan, seperti yang terangkum pada puisi dibawah ini
When your change your thinking
You change your beliefs
When you change your beliefs
You change your expectations
When your change your expectation
You change your attitude
When your change your attitude
You change your behavior
When your change your behavior
You change your performance
When your change your performance
You change your destiny
When your change your destiny
Your change your life.
(puisi ini dibacakan dalam acara Muscab IMM kota Semarang Mei 2010)

Begitu pentingnya arti diskusi, besar harapan bila setelah melakukan berbagai diskusi dan penyadaran intelektual. Mentalitas-mentalitas mahasiswa mampu ditempatkan pada porsi yang ideal yaitu mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakat, dalam bahasa Gramsci disebut intelektual organik. Diharapkan pula setelah melalui berbagai diskusi mahasiwa dan masyarakat mampu membuat gerakan yang mempunyai fungsi dan tujuan yang jelas sehingga tidak terjebak hanya pada “gerakan massa” yang rapuh, dimana mobilisasi massa maksimal, namun tidak terorganisir secara optimal. Gerakan yang ideal itu juga diharapkan terimplikasi dengan adanya kontinuitas fungsi dan gerakan dari generasi kegenerasi.
• Saran Konkrit
Saran konkrit untuk mengadakan atau ikut serta dalam diskusi adalah dengan mengikuti organisasi-organisasi baik intra maupan ekstra. Di intra ada beberapa UKM, BEM, dan Hima. Sedang di ekstra, terdapat banyak organisasi, semisal IMM HAMKA, KAMMI, GMNI, LMND, HMI, IPPNU, IPNU, dan masih banyak lagi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dengan mengikuti organisasi dan berdiskusi itu merupakan langkah nyata mengembangkan khasanah keilmuan kita.
Ingat! Sebuah gerakan tanpa ilmu adalah buta, sebuah ilmu tanpa gerakan adalah pincang. Billahifisabililhaq, Fastabiqul khairat. Nuwun… (Dyah Prabaningrum-Kabid Keilmuan IMM HAMKA periode 2010/2011)

Read More......

Minggu, 10 Oktober 2010

apresiasi cerpen "pengantar tidur panjang"

Di sini saya akan membagikan hasil apresiasi cerpen karya eka kurniawan yang berjudul Pengantar Tidur Panjang.

Eka Kurniawan melalui cerpennya “ Pengantar Tidur Panjang “ bercerita tentang aku, seorang anak sulung yang menengok Bapaknya yang sedang kritis. Ia secara tersirat mengagumi kedemokratisan, kebaikan, toleransi dan kebijaksanaan Bapaknya. Dan akhirnya Bapak “si aku “ ini meninggal dunia di malam kedua keberadaannya di rumah.

Akhirnya Bapak meninggal, di malam kedua keberadaanku di rumah.

Tetapi hal yang paling mengejutkannya adalah walaupun Bapaknya telah meninggal, Bapaknya seolah – olah masih mampu memberinya uang saku.
***
Judul cerita “ Pengantar Tidur Panjang “ membuat bayangan pertama pada pembaca akan disuguhkan dengan dongeng pengantar tidur. Mungkin pembaca akan enggan bila saja penulis cerpen tidak mengawalinya dengan awalan yang cukup mampu membuat seorang yang membaca penasaran

Aku muncul di rumah menjelang subuh. Tak berapa lama kemudian adik perempuanku juga muncul. Ia membuka pintu sambil menangis,” Bapak sudah meninggal?” kataku “belum”. Namun dokter menyatakan Bapak sudah meninggal.

Dari ungkapan di atas akan muncul sebuah pertanyaan, apakah Bapak dalam cerita ini sudah meninggal ataukah belum? Kenapa dokter mengatakan sudah, sementara “aku” menyatakan tidak? Apakah aku hanya ingin menenangkan adiknya saja. Ternyata kepiawaian penulis untuk membuat pembaca semakin penasaran terlihat lagi dalam paragraph ke-2

Setelah melihat Bapak masih hidup, meski hanya berbaring tanpa bisa bergerak, tangisnya reda.

Tulisannya yang mengalir dan tidak berbunga – bunga tetapi tetap membuat penasaran pembaca menambah nilai tersendiri. Terlepas dari tulisan – tulisan yang terus membuat penasaran pembaca, sebenarnya ada fenomena yang nampaknya layak untuk dikaji. Fenomena yang layak dikaji dalam cerpen ini tak lepas dari aspek kemasyarakatan seperti yang memang pernah disinggung oleh A. Teeuw dalam bukunya “Pengantar Teori Sastra”

Sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatan, yaitu tanpa memandanginya sebagai aspek komunikasi.

Nampaknya penulis cerpen ingin menyampaikan suatu realitas sosial dimana Islam masih mempersoalkan masalah aliran, mari kita perhatikan apa yang diucapkan penulis :

Karena masjid itu milik itu milik Muhammadiyah, banyak orang berfikir Bapak orang Muhammadiyah. Ia tak keberatan dengan anggapan itu, toh ia selalu puasa maupun lebaran mengikuti kalender Muhammadiyah. Termasuk shalat tarawih sebelas rakaat, meskipun jika terpaksa ia mau mengikuti tarawih bersama orang – orang NU (misalnya, bersama kakekku, yang selalu ngotot shalat tarawih dua puluh tiga rakaat).

Bila dicermati dengan teliti akan adanya dua pandangan dengan kata – kata “terpaksa” terpaksa yang berarti Bapak menjaga jarak dengan aliran lain atau “ terpaksa” karena keyakinan yang mendasari dalam diri Bapak itu, dirujuk dari Al-Qur’an dan hadis :

Allah berfirman dalam surat Ali – Imron ayat :31
Katakanlah (Muhammad):” Jika kamu benar – benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa – dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Dan bila diruntut segala tindakan nabi yang perlu kita contoh terekam dalam hadisnya :

Diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman ra, dia bertanya kepada Aisyah ra mengenai shalat sunah Nabi SAW pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab, Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan shalat malam hari lebih dari 11 raka’at, baik di bulan Ramadhan maupun bulan lain. ( HR. BUKHARI)

Dan seandainyapun si Bapak terpaksa shalat 23 raka’at bersama jamaah NU maka bukan berarti bapak bertoleransi dengan akidah, karena dalam akidah tidak diperbolehkan toleransi. Tetapi merujuk pada tindakan sahabat nabi yaitu Ummar Bin Khatab yang telah mendapat jaminan masuk surga oleh Allah. Atas dasar itulah, sepertinya bapak bertoleransi dengan warga NU.

Dalam cerpen tersebut terdapat kompleksitas, tidak hanya masalah agama yang diangkatan tapi masalah demokrasi dalam ranah yang kecil, yaitu keluarga. Keluarga adalah miniatur negara yang sangat sederhana. Di dalamnya terdapat seorang bapak sebagai simbol pemimpin yang menguasi miniatur sederhana tersebut. Seorang pemimpin dapat memilih kekuasaan tirani ataupun demokrasi. Dan dalam cerita ini sang Bapak menjatuhkan pilihannya pada demokrasi, ia tidak pernah menyuruh anaknya untuk menjadi kyai sepertinya dan dia memberi kebebasan berfikir bagi anaknya. Nampaknya ia sadar bahwa “kesempurnaan” berfikir akan tercipta bila adanya kekomplekan dan diferensiasi ( Herbert Spencer 1820 – 1903).

Maka ia tak pernah marah, ketika anaknya memakai kaos bergambar Lenin ataupun anaknya mengamini teori Darwin bahwa nenek moyang manusia adalah monyet. Saat si istri berseru anaknya jadi komunis dalam pandangan istrinya karena memakai kaos bergambar Lenin, si Bapak hanya tertawa.

“Lihat anakmu jadi kuminis.”kata ibuku. Bapak, seperti biasa, hanya tertawa. Bapak juga membiarkan adik lelakiku kuliah di jurusan peternakan, dan setelah penelitian dengan berbagai ayam ras, adikku mengamini Charles Darwin, percaya nenek moyang manusia dan monyet (juga ayam) memang sama. Tidak ada Adam dan Hawa. Bapak tak peduli dan memberinya modal untuk membuat peternakan ayam.
……………………………………………………………………………………………………………………
“Satu lagi anakmu jadi kuminis.” Kembali Bapak hanya tertawa. (saat anaknya mencoblos Partai Rakyat Demokratik )


Seolah di dalam keluarga itu terjadi keragaman dari sang Bapak, Ibu, dan kakek yang agamis dan didalamnya ada dua aliran NU dan Muhammadiyah, si aku dan adiknya yang condong ke haluan kiri. Dan ada sang adik lagi yang sekolah di IAIN Yogyakarta, dan semua itu adalah bukti kedemokratisan sang Bapak.

Meskipun begitu, salah satu adik perempuanku yang kini membaca Yassin bersama Ibu, akhirnya kuliah ke Institut Agama Islam Negri Yogyakarta.

Agaknya tokoh si Bapak ini juga menganut prinsip demokrasi yang bertanggung jawab, dengan diterangkan karakter Bapaknya oleh si aku

……. Aku tahu ia lebih risau jika anaknya mencuri ikan di kolam tetangga dari pada melihat anak yang memakai kaos Lenin atau mencoblos PRD.

Dalam tulisan itu tersirat bahwa ia memberi kebebasan pada anaknya, sepanjang tidak mengganggu hak milik orang lain.

Di dalamnya juga terjadi kritik terhadap keberanian seseorang yang hanya tampak di luarnya saja, lewat penokohan aku, Eka Kurniawan menceritakan bahwa seseorang yang terlihat berani belum tentu ia sebenarnya berani.

“Kamu memang pintar, tapi tak akan seberani itu. Kamu penakut, dan itulah mengapa kamu tak pergi ke Afganistan. Kamu selalu takut pada polisi dan tentara, meskipun kamu tampaknya tak pernah takut pada neraka.”


Dalam penokohan aku , ia juga mencerminkan kondisi masyarakat yang suka menghubung – hubungkan sesuatu. Si aku lewat penokohannya menghubungkan nasib Bapak dengan nasib negeri ini.

Misalnya, pada tanggal 28 November 1975 aku dilahirkan. Pada saat yang sama Fretelin memerdekakan Timor – Timor dan Republik Indonesia mencaploknya. Mereka berdua (Bapak dan Republik Indonesia) sama – sama memiliki anggota keluarga yang baru. Sejak itu usaha Bapak macam – macam menuai keberhasilan. Bapak bangkrut di tahun 1998. Ha, bukankah seperti itu juga Republik Indonesia, (dst).


Dalam kehidupan nyata memang tak jarang beberapa orang menghubung – hubungkan suatu kejadian dengan kejadian lain. Itulah yang di sebut oleh ahli folklor modern dengan sebutan folk belief.
Menurut ahli sosial Antropologi, Koentjaraningrat, Hal itu dapat terjadi berdasarkan hubungan sebab – akibat menurut hubungan asosiasi. Hubungan yang menyebabkan suatu asosiasi, misalnya : persamaan waktu, persamaan wujud, totalitas dan bagian, persamaan bunyi sebutan.

Kejadian tersebut nampaknya karena persamaan waktu. Satu hal lagi, Eka Kurniawan nampaknya ingin mengomunikasikan suatu hal pada pembaca yaitu sebuah kebaikan akan terus dikenang sampai mati dan mungkin dapat bermanfaat untuk sesama di lain waktu. Dia mencoba menyampaikan pada pembaca lewat ceritanya, ia tidak perlu membayar bus karena ternyata kondektur bus itu pernah di tolong ayahnya.

Lalu ia (kondektur) bus itu bercerita, beberapa tahun yang lalu ia sempat sakit gigi, tak sembuh oleh obat. Dokter tak berani mencabut giginya sebelum sakitnya hilang. Hingga seorang menyarankan menemui kyai. Sang kiai memberinya minum. ………………………….sakitnya mendadak hilang dan dokter kemudian mencabut giginya.
“Kiai itu bapakmu,” kata kondektur.


Kecerdikan penulis dalam mencoba mengakhiri dan benar – benar mengakhiri ceritanya muncul lagi.

Bahkan, pikirku, setelah meninggal Bapak masih memberiku ongkos………………Kupasang earphone dan kupejamkan mata,”Goodbye, Papa, it’s hard to die….dan segera aku terlelap.

Cipta sastra selain menyajikan nilai – nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu menyajikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini. (Boulton)

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor :Ghalia Indonesia
Danandjaja, James. 2002. Flolklor Indonesia. Jakarta : Grafiti
Hariono, Anwar. 2009. “Bukti Cinta Kepada Allah” dalam Handout Kajian Ahad Pagi, Minggu, 27 Agustus 2009. Semarang
Kurniawan, Eka. 2009.” Pengantar Tidur Panjang” dalam Kompas edisi Minggu, 1 November 2009. Jakarta : Kompas
Teeuw, A. 1988. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya

Read More......

Sabtu, 09 Oktober 2010

aku menemukanmu

dalam larut diam kebisuan
aku mulai meraba
bahasaku tak tumpah ruah seperti biasa
tak menjerit, tak memekik
karena kau tlah tertemui

Read More......