Pages

RSS

Selamat datang di Cermin Sebuah Titik
Refleksi Sunyi
Sunyi tak selamanya sepi
Sendiri hanya 'tuk mengenali pribadi
Dyah Prabaningrum (D*pra)

Kamis, 16 Desember 2010

guru, digugu lan ditiru, relevankah?

tulisan ini pernah dimuat di harian semarang

GURU,”DIGUGU LAN DITIRU”
RELEVANKAH?
Oleh: Dyah Prabaningrum

Saya teringat pada kerata basa tentang guru, bahwa guru sejatinya digugu lan ditiru. Ingatan saya tentang kerata basa tersebut membawa ingatan saya terhadap sejarah, lebih tepatnya cerita tentang wali.

Alkisah, dahulu kala ada perampok yang menghalangi perjalanan Sunan Bonang. Ketika Sunan Bonang diminta turun dan menyerahkan barang berharga miliknya, Sunan Bonang kala itu tidak membawa barang berharga seperti yang diinginkan si perampok, perampok itupun mengancam akan melukai Sunan Bonang. Sunan Bonang bertanya pada perampok apa yang diinginkannya, sang perampokpun menjawab ia menginginkan barang berharga seperti uang ataupun emas. Setelah mendengar pernyataan perampok itu, Sunan Bonang menunjuk pohon aren dan seketika itu manggar aren berubah menjadi emas. Melihat hal tersebut perampok yang tadinya “bengis” meminta ampun dan ingin menjadi murid Sunan Bonang.

Sunan Bonang memaafkan perampok yang ternyata bernama Raden Sahid. Singkat cerita, Sunan Bonang menancapkan batang ke tanah ditepian kali. Untuk menjadi murid Sunan Bonang, ia memerintahkan Raden Sahid untuk menunggui tongkat itu sampai ia kembali dengan syarat tidak boleh beranjak sedikitpun. Sesuai dengan falsafah Jawa Raden Sahid tanpa bertanya dan langsung patuh (nggugu) Sunan Bonang.
Sunan Bonangpun meninggalkan Raden Sahid yang telah diutus menunggui tongkat tersebut. Tujuh tahun berlalu, tongkat tersebut telah menjadi pohon dan tanah di sekitar sungai itu telah ditumbuhi semak belukar. Raden Sahid seperti menjadi patung dan tidak pindah sedikitpun dari tempat, dimana Sunan Bonang menyuruhnya menunggui tongkat tersebut pertama kali. Sunan Bonang trenyuh, dan berkata pada Raden Sahid,”Bangunlah.” Raden Sahid kembali menjadi manusia normal, sejak saat itu Raden Sahid diberi gelar Sunan Kali Jaga.

Cerita itu terasa sangat sulit ditangkap nalar bagi”mereka” yang berfikiran logis. Bagaimana mungkin seorang manusia mampu berdiri selama itu tanpa bergeming sedikitpun. Cerita tersebut berikut variannya lebih bermakna simbolis menurut saya, begitu pula Gunawan Budi Santosa pada bukunya Edan-Edanan di Zaman Edan. “Kali” pada zaman dahulu adalah jalur transportasi yang cukup vital, yang merupakan simbolisasi urat perekonomian, sedang perintah menjaga batang yang ditancapkan di dekat sungai adalah simbol dari menjaga sungai dan sekitarnya. Sebagai seorang “gali” (yang ingin bertobat) tentu Raden Sahid paham betul keadaan sekitar sungai beserta “pemutus urat nadi perekonomian” yaitu perampok-perampok yang sering berada disekitar sungai itu. Adapun simbol lain adalah keingintahuan tentang keteguhan hati Raden Sahid untuk menjadi muridnya. Alhasil setelah proses yang cukup panjang (selama tujuh tahun) Raden Sahidpun berhasil “jaga kali” dan mendapatkan gelar”Sunan Kali Jaga.”
Simbolisasi di atas adalah suatu cara pandang, yang merupakan spekulasi pemikiran. Cara pandang dapat bernilai benar dan keliru. Ketika memang cerita tentang Sunan Kali Jaga adalah sebuah fakta, maka ada pertanyaan di benak saya, benarkah Sunan cerdas yang berdakwah di Jawa itu, menerima langsung titah sang guru, tanpa bertanya, tanpa meminta penjelasan, tanpa sebuah kekritisan? Pikiran saya membuat saya bertanya pada seorang sarjana Pendidikan Sejarah. Kata Muhammad Iqbal Birsyada, S.Pd, Sunan Kali Jaga waktu itu memang diceritakan langsung patuh terhadap Sunan Bonang. Begitu pula, ketika saya bertanya pada Isa Thoriq Amrullah yang pernah bersekolah di pondok Muallimin Yogyakarta, jawabannyapun sama.

Dan lagi-lagi pikiran saya berspekulasi. Mungkin yang akan disampaikan pencerita pada pendengar adalah sebuah falsafah yang selama ini sering kita dengar, bahwa kita sebagai murid wajib nggugu guru, patuh terhadapnya. Raden Sahid patuh dimungkinkan atas pemikiran bahwa Sunan Bonang adalah Guru yang baik, guru yang rendah hati. Mengapa saya berfikiran demikian? Karena di awal, Sunan Bonang tidak langsung dengan congkaknya menunjukkan kemampuan”gaib” yang ia miliki. Ia sabar sejenak, hingga Raden Sahid yang menjelaskan apa maunya. Bila dikorelasikan dengan keadaan sekarang, mungkin masih banyak guru yang seperti sunan Bonang, yaitu laku yang sabar dalam mendampingi murid belajar. Guru seperti itu tentu saja patut digugu dan ditiru. Tapi bagaimana bila kita menemukan guru yang sedikit kurang sabar? Yang menganggap semua penjelasannya paling benar tanpa referensi yang jelas dalam penyebutannya? Dan tanpa penjelasan yang mewadai argumennya? Dan marah ketika apa yang dijelaskan ditanyakan kembali atau disanggah oleh anak didiknya karena penjelasannya agak berseberangan dengan referensi yang dibaca muridnya? Atau bagaimanakah bila kita diajar guru yang sering kosong pada jam-jam mengajarnya, kemudian memberi tugas, dan ketika muridnya salah mengerjakan tugas yang diberi, ia marah? Masihkah kita pantas “menggugu” ucapannya dan “meniru” lakunya?

Guru memang lebih berpengalaman dari kita, lebih tinggi pendidikannya dari kita, akan tetapi tak dinafikkan, walau manusia mahluk paling sempurna diantara yang lainnya, khilaf, salah, dan lupa kadang ada di dalam setiap jiwa manusia. Wallahu’alam.
Segala kekurangan milik penulis dan kebermanfaatan datangnya dari Allah. Billahifisabililhaq Fastabiqul Khairat.

Kabid Keilmuan, IMM HAMKA Semarang