Berbenah Untuk Kualitas Pendidikan
(Oleh Dyah Prabaningrum)
Tahun Ajaran 2009/2010 telah selesai, dan kini kita akan memasuki Tahun Ajaran Baru 2009/2010. Seperti yang rutin terjadi pada pergantian Tahun Ajaran, pada saat ini dunia persekolahan sedang disibukkan oleh gelombang Penerimaan Siswa Baru . Pihak sekolah, orangtua siswa, dan siswa atau calon siswa yang akan memasuki atau melanjutkan sekolah, saat ini sedang sibuk dengan proses pendaftaran dan penerimaan siswa baru
Masalah klasik dalam dunia pendidikan adalah mahalnya biaya pendidikan. Biaya pendidikan sekarang ini tidak murah lagi karena dilihat dari penghasilan rakyat Indonesia setiap harinya. Walaupun sekarang ini setiap sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tetapi biaya pendidikan masih tetap tinggi. Terlebih lagi biaya pendidikan di perguruan tinggi . Padahal kita tahu bahwa pendidikan adalah hal kebutuhan yang sangat penting guna membentuk generasi muda yang berkualitas. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan tidak begitu memedulikan atau memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya.
Mengenang sejarah peningkatan anggaran pendidikan
Bila kita mengingat sejarah sejak reformasi digulirkan tahun 1998, suara-suara yang menginginkan peningkatan anggaran APBN untuk pendidikan semakin santer terdengar di media massa, di antaranya dengan unjuk rasa di jalanan. tuntutan para pemerhati pendidikan pun semakin nyaring meminta tambahan anggaran pendidikan yang selama Orde Baru tidak lebih dari angka 10% dari APBN, bandingkan dengan Malaysia yang sejak merdeka tidak pernah kurang dari 20% APBN-nya, diantaranya guna membayar guru dan dosen dari Indonesia pada waktu itu.Ternyata salah satu tuntutan reformasi tersebut tidak direspon positif oleh Kabinet Reformasi pasca reformasi, justru sebaliknya, anggaran pendidikan dipotong habis-habisan. Jika era sebelumnya mencapai 9,3% dan terakhir 8%, pada masa Kabinet Reformasi tersebut, angka yang dialokasikan hanya 3,8% (APBN 2001). Alasannya prioritas harus diletakkan pada pengadaan prasarana, seperti penyediaan listrik, pelabuhan, dan sebagainya. Mereka tidak mau menerima pandangan yang menyatakan bahwa investasi terbaik adalah dalam peningkatan kemampuan SDM dan jalan utamanya adalah pendidikan.
Patut kita syukuri pada pemerintahan saat ini pendidikan kian diperhatikan, dari Departemen Keuangan RI, APBN 2005 sampai dengan RAPBN 2010, perkembangan alokasi dan rasio terhadap APBN adalah sebagai berikut :
tahun 2005 dana yang dialokasikan sebesar 33,40 triliun (8,1%); pada tahun 2006 dana yang dialokasikan 44,11 triliun (10,1%); tahun 2007 dana yang dialokasikan naik menjadi 53,07 (10,5%); tahun 2008 dana yang dialokasikan naik lagi menjadi 158,52 triliun (18,5%) dan tahun 2009 dana itu kembali naik menjadi 207,41 triliun (20%).
Sejenak mengenang UU BHP( Badan Hukum Pendidikan ) yang telah dibatalkan
Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut pada tahun 1997 dari 49 negara yang diteliti Indonesia berada di urutan 39. Pada tahun 1999, dari 47 negara yang disurvei Indonesia iif thinking berada pada urutan 46. Tahun 2002 dari 49 negara Indonesia berada pada urutan 47 dan pada tahun 2007 dari 55 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan yang ke 53.
Pikiran positif thinking penulis pada UU BHP adalah mengingat rendahnya mutu pendidikan mungkin pemerintah menginginkan dengan adanya badan hukum, perguruan tinggi dapat melakukan tindakan hukum yaitu dapat membuat ketentuan sendiri dan dapat melakukan inovasi dalam pembelajaran juga dapat melakukan terobosan pendidikan. Semua itu diharapkan dilakukan dengan biaya lebih murah ketimbang bila dilakukan birokrasi pemerintah.
Otonomi yang diberikan oleh UU BHP memang harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan adanya komersialisasi dalam BHP. Namun prinsip tersebut belum dapat direalisasikan, yang pada akhirnya BHP melegalisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.
Tentunya pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam karena lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di tiap daerah. Hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan. Begitu pula, UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan kepastian hukum.
Hal yang menggelisahkan dari BHP itu sesungguhnya masuknya semangat liberalisme bisnis dalam dunia pendidikan. Pengelolaan pendidikan dengan undang-undang tersebut secara serius diarahkan sebagai lembaga bisnis yang mengabaikan amanat Undang-undang Dasar 1945, dalam konteks memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi segenap rakyat untuk mendapatkan haknya dalam pendidikan.
Lewat UU BHP tersebut, dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi berlomba-lomba mengelola lembaganya seperti perusahaan dengan target konsumen adalah para mahasiswa. Dalam hal pemberian pelayanan, pemberlakuan mahasiswa sebagai konsumen sebagaimana dalam dunia bisnis, mungkin tidak ada masalah, bahkan memang demikianlah idealnya.
Namun, memberlakukan mahasiswa sebagai konsumen bisnis dengan kewajiban mahasiswa sebagaimana dalam bisnis, sudah jelas mengingkari semangat yang dibangun dalam dunia pendidikan kita. Hal paling diabaikan adalah melupakan mahasiswa sebagai generasi muda, tunas bangsa yang seyogyanya menjadi kewajiban kita semua, terutama pemerintah untuk memberikan perlakuan khusus. Perlakukan tersebut antara lain jangan sampai mahasiswa dijadikan obyek, konsumen bisnis yang ditandai mahalnya biaya pendidikan.
Maka tidak mengherankan Putusan Pembatalan UU BHP beberapa waktu yang lalu membuahkan rasa syukur yang mendalam pada sejumlah komponen mahasiswa dan masyarakat juga pemerhati pendidikan yang kontra dan memperjuangkan pembatalan UU BHP.
Banyak pertanyaan yang perlu dijawab
Sebenarnya banyak pertanyaan untuk negeri ini dan para generasi muda, peningkatan anggaran pendidikan seperti yang telah dijelaskan diatas memang mencengangkan, terjadi kenaikan rasio yang sangat signifikan, tapi yang menjadi permasalahan apakah peningkatan anggaran pendidikan itu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan? Apakah anggaran pendidikan yang dalam masa kepemimpinan saat ini telah meningkat hingga 20% telah mampu dinikmati semua rakyat Indonesia? Apakah setelah pembatalan UU BHP pendidikan akan menjadi murah? Dan bisakah pendidikan di Indonesia mengeluarkan output yang berkualitas?
Apakah itu yang disebut peningkatan anggaran pendidikan guna peningkatan kualitas pendidikan? Akan lebih bijak bila kita sama – sama mengevaluasi diri tidak hanya menyalahkan pemerintah. Bila semua komponen tidak mulai berbenah baik pemerintah hingga generasi muda, tidakkah sejumlah perjuangan di atas akan sia – sia?