Pages

RSS

Selamat datang di Cermin Sebuah Titik
Refleksi Sunyi
Sunyi tak selamanya sepi
Sendiri hanya 'tuk mengenali pribadi
Dyah Prabaningrum (D*pra)

Rabu, 20 Oktober 2010

Perbaiki Kualitas Pendidikan

Berbenah Untuk Kualitas Pendidikan
(Oleh Dyah Prabaningrum)

Tahun Ajaran 2009/2010 telah selesai, dan kini kita akan memasuki Tahun Ajaran Baru 2009/2010. Seperti yang rutin terjadi pada pergantian Tahun Ajaran, pada saat ini dunia persekolahan sedang disibukkan oleh gelombang Penerimaan Siswa Baru . Pihak sekolah, orangtua siswa, dan siswa atau calon siswa yang akan memasuki atau melanjutkan sekolah, saat ini sedang sibuk dengan proses pendaftaran dan penerimaan siswa baru
Masalah klasik dalam dunia pendidikan adalah mahalnya biaya pendidikan. Biaya pendidikan sekarang ini tidak murah lagi karena dilihat dari penghasilan rakyat Indonesia setiap harinya. Walaupun sekarang ini setiap sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tetapi biaya pendidikan masih tetap tinggi. Terlebih lagi biaya pendidikan di perguruan tinggi . Padahal kita tahu bahwa pendidikan adalah hal kebutuhan yang sangat penting guna membentuk generasi muda yang berkualitas. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan tidak begitu memedulikan atau memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya.

Mengenang sejarah peningkatan anggaran pendidikan

Bila kita mengingat sejarah sejak reformasi digulirkan tahun 1998, suara-suara yang menginginkan peningkatan anggaran APBN untuk pendidikan semakin santer terdengar di media massa, di antaranya dengan unjuk rasa di jalanan. tuntutan para pemerhati pendidikan pun semakin nyaring meminta tambahan anggaran pendidikan yang selama Orde Baru tidak lebih dari angka 10% dari APBN, bandingkan dengan Malaysia yang sejak merdeka tidak pernah kurang dari 20% APBN-nya, diantaranya guna membayar guru dan dosen dari Indonesia pada waktu itu.Ternyata salah satu tuntutan reformasi tersebut tidak direspon positif oleh Kabinet Reformasi pasca reformasi, justru sebaliknya, anggaran pendidikan dipotong habis-habisan. Jika era sebelumnya mencapai 9,3% dan terakhir 8%, pada masa Kabinet Reformasi tersebut, angka yang dialokasikan hanya 3,8% (APBN 2001). Alasannya prioritas harus diletakkan pada pengadaan prasarana, seperti penyediaan listrik, pelabuhan, dan sebagainya. Mereka tidak mau menerima pandangan yang menyatakan bahwa investasi terbaik adalah dalam peningkatan kemampuan SDM dan jalan utamanya adalah pendidikan.
Patut kita syukuri pada pemerintahan saat ini pendidikan kian diperhatikan, dari Departemen Keuangan RI, APBN 2005 sampai dengan RAPBN 2010, perkembangan alokasi dan rasio terhadap APBN adalah sebagai berikut :
tahun 2005 dana yang dialokasikan sebesar 33,40 triliun (8,1%); pada tahun 2006 dana yang dialokasikan 44,11 triliun (10,1%); tahun 2007 dana yang dialokasikan naik menjadi 53,07 (10,5%); tahun 2008 dana yang dialokasikan naik lagi menjadi 158,52 triliun (18,5%) dan tahun 2009 dana itu kembali naik menjadi 207,41 triliun (20%).

Sejenak mengenang UU BHP( Badan Hukum Pendidikan ) yang telah dibatalkan

Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut pada tahun 1997 dari 49 negara yang diteliti Indonesia berada di urutan 39. Pada tahun 1999, dari 47 negara yang disurvei Indonesia iif thinking berada pada urutan 46. Tahun 2002 dari 49 negara Indonesia berada pada urutan 47 dan pada tahun 2007 dari 55 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan yang ke 53.
Pikiran positif thinking penulis pada UU BHP adalah mengingat rendahnya mutu pendidikan mungkin pemerintah menginginkan dengan adanya badan hukum, perguruan tinggi dapat melakukan tindakan hukum yaitu dapat membuat ketentuan sendiri dan dapat melakukan inovasi dalam pembelajaran juga dapat melakukan terobosan pendidikan. Semua itu diharapkan dilakukan dengan biaya lebih murah ketimbang bila dilakukan birokrasi pemerintah.
Otonomi yang diberikan oleh UU BHP memang harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan adanya komersialisasi dalam BHP. Namun prinsip tersebut belum dapat direalisasikan, yang pada akhirnya BHP melegalisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Tentunya pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam karena lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di tiap daerah. Hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan. Begitu pula, UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan kepastian hukum.
Hal yang menggelisahkan dari BHP itu sesungguhnya masuknya semangat liberalisme bisnis dalam dunia pendidikan. Pengelolaan pendidikan dengan undang-undang tersebut secara serius diarahkan sebagai lembaga bisnis yang mengabaikan amanat Undang-undang Dasar 1945, dalam konteks memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi segenap rakyat untuk mendapatkan haknya dalam pendidikan.
Lewat UU BHP tersebut, dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi berlomba-lomba mengelola lembaganya seperti perusahaan dengan target konsumen adalah para mahasiswa. Dalam hal pemberian pelayanan, pemberlakuan mahasiswa sebagai konsumen sebagaimana dalam dunia bisnis, mungkin tidak ada masalah, bahkan memang demikianlah idealnya.
Namun, memberlakukan mahasiswa sebagai konsumen bisnis dengan kewajiban mahasiswa sebagaimana dalam bisnis, sudah jelas mengingkari semangat yang dibangun dalam dunia pendidikan kita. Hal paling diabaikan adalah melupakan mahasiswa sebagai generasi muda, tunas bangsa yang seyogyanya menjadi kewajiban kita semua, terutama pemerintah untuk memberikan perlakuan khusus. Perlakukan tersebut antara lain jangan sampai mahasiswa dijadikan obyek, konsumen bisnis yang ditandai mahalnya biaya pendidikan.
Maka tidak mengherankan Putusan Pembatalan UU BHP beberapa waktu yang lalu membuahkan rasa syukur yang mendalam pada sejumlah komponen mahasiswa dan masyarakat juga pemerhati pendidikan yang kontra dan memperjuangkan pembatalan UU BHP.

Banyak pertanyaan yang perlu dijawab
Sebenarnya banyak pertanyaan untuk negeri ini dan para generasi muda, peningkatan anggaran pendidikan seperti yang telah dijelaskan diatas memang mencengangkan, terjadi kenaikan rasio yang sangat signifikan, tapi yang menjadi permasalahan apakah peningkatan anggaran pendidikan itu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan? Apakah anggaran pendidikan yang dalam masa kepemimpinan saat ini telah meningkat hingga 20% telah mampu dinikmati semua rakyat Indonesia? Apakah setelah pembatalan UU BHP pendidikan akan menjadi murah? Dan bisakah pendidikan di Indonesia mengeluarkan output yang berkualitas?
Apakah itu yang disebut peningkatan anggaran pendidikan guna peningkatan kualitas pendidikan? Akan lebih bijak bila kita sama – sama mengevaluasi diri tidak hanya menyalahkan pemerintah. Bila semua komponen tidak mulai berbenah baik pemerintah hingga generasi muda, tidakkah sejumlah perjuangan di atas akan sia – sia?

Read More......

Selasa, 19 Oktober 2010

urgensi diskusi

tulisan dyah ini telah dimuat di Kompas mahasiswa UNNES

URGENSI DISKUSI

Tentunya ada rasa bangga ketika lulus Ujian Nasional kemudian melenggang masuk ke perguruan tinggi. Sebuah jenjang yang berbeda dengan tantangan yang berbeda pula. Diawali dengan membayar sejumlah uang registrasi untuk mahasiswa baru, diteruskan dengan agenda Program Pengenalan Akademik (PPA) yang dulu kerap disebut Ospek merupakan langkah awal sebuah proses sosialisasi. Proses sosialisasi tentunya tidak akan terhenti begitu saja setelah usai PPA. Status siswa yang dulu disandangnya kini beralih menjadi mahasiswa yang berperan sebagai agent of change sekaligus agent of control sehingga mahasiswa mengemban tanggungjawab moral yang berat.
Sebagai agen of change banyak sekali harapan-harapan masyarakat yang bertumpu pada mahasiswa. Mahasiswa diharapkan menjadi aktor sosial yang menuju proses dialektika pendewasaan di segala sisi kehidupan. Selain itu mahasiswa juga diharapkan memupuk kesadaran diri untuk membenahi dan memajukan bangsa. Perubahan dan pembenahan dapat tercapai manakala ada kesadaran (awareness) dari suatu individu yang akan mempersiapkan mereka untuk proses perubahan.
Pada dasarnya manusia itu enggan “dirubah,” bukan enggan “berubah”. Sebagian besar kita beranggapan perubahan itu baru boleh dilakukan kalau ada masalah, saat memasuki tahap krisis. Padahal saat memasuki tahap krisis, perubahan itu hampir tidak mungkin atau mustahil. Perubahan tidak mungkin dapat dilakukan hanya dengan merubah sistem tanpa kesiapan pelaku-pelakunya.
Oleh karena itu diskusi adalah wahana yang tepat untuk menyiapkan mental-mental pelaku perubahan.

• Diskusi
Secara sederhana diskusi merupakan sarana bertukar pikiran antar sesama dengan anggota paling sedikit dua orang ditempat dan waktu tertentu. Kita telah mengenal berbagai macam diskusi dari diskusi formal dengan persiapan yang matang hingga diskusi informal yang merupakan kebiasaan berbincang untuk mengisi waktu luang. Kebiasaan berdiskusi memang telah merebak di berbagai kalangan, hanya saja tujuan dan sasaran kadang belum begitu jelas.
Dalam diskusi apalagi diskusi ilmiah yang bertujuan membuka khasanah keilmuan agar lebih luas yang paling dibutuhkan adalah pemahaman. Pemahaman itu bukan berarti harus tahu segala hal dan harus mengerti seluk–beluk sesuatu sampai ketingkat yang paling tinggi. Paham dengan inti pembicaraan atau diskusi yang dilakukan itu merupakan hal yang cukup, syukur kalau lebih. Dari kepahaman itu akan merekonstruksi pemikiran kita sendiri. Dan dari sebuah pemahan diharapkan muncul paradigma baru dengan pandangan kita yang teruji ketika kita harus mempertahankan pendapat kita.

• Mengenang Gramsci
Antonio Gramsci lahir di Italia 1891 dan meninggal 1937. Daya kritis Gramski sebagai aktivis partai kiri ternyata membuatnya dijebloskan dalam penjara. Namun dalam penjara inilah Gramsci mulai menyusun catatan-catatan, yang kemudian dibukukan, dan diberi judul The Prison Notebooks.
Sebuah perntanyaan sederhana menghantui Gramsci,”Mengapa di Rusia bisa terjadi Revolusi sosialis, sedangkan di Italia tidak?” dari pernyataan inilah Gramsci menemukan ide tentang “hegemoni”. Lantas apa yang disebut Hegemoni?
Menurut Zamzam Muhammad F (2009) Hegemoni adalah seperangkat kekuasaan yang didapatkan oleh kelas penguasa atas kelas yang dikuasai. Namun hegemoni tidak dilakukan dengan cara memaksa/ menekan dengan kekerasan yang sifatnya materiil-misal dengan menodongkan senjata- lebih dari itu, hegemoni di dapatkan dari sebuah keprasahan dan keikhlasan sebuah kelas dikuasai.
Dalam konteks pertentangan antara kapitalis vs sosialis, sulit kiranya bagi kubu sosialis melakukan revolusi jika kubu kapitalis telah berhasil melakukan hegemoni terhadap massa atau rakyat. Hegemoni macam apa hingga kubu kapitalis dapat mempertahankan kekuasaannya?
Terkait dengan buruh-buruh melakukan revolusi sosialis, kegagalan buruh-buruh dalam melakukan perlawanan disebabkan oleh taktik ideologis kubu pemilik modal. Buruh-buruh telah memiliki kesadaran,”Sudah untung kita bisa bekerja.” Padahal, bukan tidak mungkin, kesadaran macam itulah “kesadaran palsu” yang diciptakan oleh kubu pemilik modal untuk meredam “kesadaran perlawanan’’ para buruh. Saran konkretnya adalah ciptakan dulu”kesadaran perlawanan” sebelum melakukan sebuah “ perlawanan.”
Zamzam juga berpendapat semakin luas range virus “kesadaran perlawanan,”semakin mungkin revolusi tercipta dan berbuah hasil. Penulispun sepaham dengan argumen tersebut.

• Komparasi ‘’ketiadaan perlawanan buruh” dengan diskusi
Sekarang kita komparasikan antara ketiadaan perlawanan buruh dengan keengganan berdiskusi dikalangan mahasiswa. Dengan tetap mengasosiakan keduanya pada ide”hegemoni Gramsci.’’ Acapkali ketika kita diajak berdiskusi bahkan ketika melihat ada forum diskusi, kita menolaknya entah langsung diucapkan atau di dalam hati saja,”Untuk apa sih diskusi? Nggak esensial, kebanyakan omong, males, nggak ada gerakan yang nyata, dan sebagainya.’’ Jangan-jangan kesadaran tersebut adalah hasil dari usaha hegemoni yang dilakukan oleh kubu yang menginginkan ketidakkritisan mahasiswa dan masyarakat. Padahal manfaat diskusi adalah melakukan penyadaran intelektual dan tindakan, seperti yang terangkum pada puisi dibawah ini
When your change your thinking
You change your beliefs
When you change your beliefs
You change your expectations
When your change your expectation
You change your attitude
When your change your attitude
You change your behavior
When your change your behavior
You change your performance
When your change your performance
You change your destiny
When your change your destiny
Your change your life.
(puisi ini dibacakan dalam acara Muscab IMM kota Semarang Mei 2010)

Begitu pentingnya arti diskusi, besar harapan bila setelah melakukan berbagai diskusi dan penyadaran intelektual. Mentalitas-mentalitas mahasiswa mampu ditempatkan pada porsi yang ideal yaitu mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakat, dalam bahasa Gramsci disebut intelektual organik. Diharapkan pula setelah melalui berbagai diskusi mahasiwa dan masyarakat mampu membuat gerakan yang mempunyai fungsi dan tujuan yang jelas sehingga tidak terjebak hanya pada “gerakan massa” yang rapuh, dimana mobilisasi massa maksimal, namun tidak terorganisir secara optimal. Gerakan yang ideal itu juga diharapkan terimplikasi dengan adanya kontinuitas fungsi dan gerakan dari generasi kegenerasi.
• Saran Konkrit
Saran konkrit untuk mengadakan atau ikut serta dalam diskusi adalah dengan mengikuti organisasi-organisasi baik intra maupan ekstra. Di intra ada beberapa UKM, BEM, dan Hima. Sedang di ekstra, terdapat banyak organisasi, semisal IMM HAMKA, KAMMI, GMNI, LMND, HMI, IPPNU, IPNU, dan masih banyak lagi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dengan mengikuti organisasi dan berdiskusi itu merupakan langkah nyata mengembangkan khasanah keilmuan kita.
Ingat! Sebuah gerakan tanpa ilmu adalah buta, sebuah ilmu tanpa gerakan adalah pincang. Billahifisabililhaq, Fastabiqul khairat. Nuwun… (Dyah Prabaningrum-Kabid Keilmuan IMM HAMKA periode 2010/2011)

Read More......

Minggu, 10 Oktober 2010

apresiasi cerpen "pengantar tidur panjang"

Di sini saya akan membagikan hasil apresiasi cerpen karya eka kurniawan yang berjudul Pengantar Tidur Panjang.

Eka Kurniawan melalui cerpennya “ Pengantar Tidur Panjang “ bercerita tentang aku, seorang anak sulung yang menengok Bapaknya yang sedang kritis. Ia secara tersirat mengagumi kedemokratisan, kebaikan, toleransi dan kebijaksanaan Bapaknya. Dan akhirnya Bapak “si aku “ ini meninggal dunia di malam kedua keberadaannya di rumah.

Akhirnya Bapak meninggal, di malam kedua keberadaanku di rumah.

Tetapi hal yang paling mengejutkannya adalah walaupun Bapaknya telah meninggal, Bapaknya seolah – olah masih mampu memberinya uang saku.
***
Judul cerita “ Pengantar Tidur Panjang “ membuat bayangan pertama pada pembaca akan disuguhkan dengan dongeng pengantar tidur. Mungkin pembaca akan enggan bila saja penulis cerpen tidak mengawalinya dengan awalan yang cukup mampu membuat seorang yang membaca penasaran

Aku muncul di rumah menjelang subuh. Tak berapa lama kemudian adik perempuanku juga muncul. Ia membuka pintu sambil menangis,” Bapak sudah meninggal?” kataku “belum”. Namun dokter menyatakan Bapak sudah meninggal.

Dari ungkapan di atas akan muncul sebuah pertanyaan, apakah Bapak dalam cerita ini sudah meninggal ataukah belum? Kenapa dokter mengatakan sudah, sementara “aku” menyatakan tidak? Apakah aku hanya ingin menenangkan adiknya saja. Ternyata kepiawaian penulis untuk membuat pembaca semakin penasaran terlihat lagi dalam paragraph ke-2

Setelah melihat Bapak masih hidup, meski hanya berbaring tanpa bisa bergerak, tangisnya reda.

Tulisannya yang mengalir dan tidak berbunga – bunga tetapi tetap membuat penasaran pembaca menambah nilai tersendiri. Terlepas dari tulisan – tulisan yang terus membuat penasaran pembaca, sebenarnya ada fenomena yang nampaknya layak untuk dikaji. Fenomena yang layak dikaji dalam cerpen ini tak lepas dari aspek kemasyarakatan seperti yang memang pernah disinggung oleh A. Teeuw dalam bukunya “Pengantar Teori Sastra”

Sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatan, yaitu tanpa memandanginya sebagai aspek komunikasi.

Nampaknya penulis cerpen ingin menyampaikan suatu realitas sosial dimana Islam masih mempersoalkan masalah aliran, mari kita perhatikan apa yang diucapkan penulis :

Karena masjid itu milik itu milik Muhammadiyah, banyak orang berfikir Bapak orang Muhammadiyah. Ia tak keberatan dengan anggapan itu, toh ia selalu puasa maupun lebaran mengikuti kalender Muhammadiyah. Termasuk shalat tarawih sebelas rakaat, meskipun jika terpaksa ia mau mengikuti tarawih bersama orang – orang NU (misalnya, bersama kakekku, yang selalu ngotot shalat tarawih dua puluh tiga rakaat).

Bila dicermati dengan teliti akan adanya dua pandangan dengan kata – kata “terpaksa” terpaksa yang berarti Bapak menjaga jarak dengan aliran lain atau “ terpaksa” karena keyakinan yang mendasari dalam diri Bapak itu, dirujuk dari Al-Qur’an dan hadis :

Allah berfirman dalam surat Ali – Imron ayat :31
Katakanlah (Muhammad):” Jika kamu benar – benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa – dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Dan bila diruntut segala tindakan nabi yang perlu kita contoh terekam dalam hadisnya :

Diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman ra, dia bertanya kepada Aisyah ra mengenai shalat sunah Nabi SAW pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab, Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan shalat malam hari lebih dari 11 raka’at, baik di bulan Ramadhan maupun bulan lain. ( HR. BUKHARI)

Dan seandainyapun si Bapak terpaksa shalat 23 raka’at bersama jamaah NU maka bukan berarti bapak bertoleransi dengan akidah, karena dalam akidah tidak diperbolehkan toleransi. Tetapi merujuk pada tindakan sahabat nabi yaitu Ummar Bin Khatab yang telah mendapat jaminan masuk surga oleh Allah. Atas dasar itulah, sepertinya bapak bertoleransi dengan warga NU.

Dalam cerpen tersebut terdapat kompleksitas, tidak hanya masalah agama yang diangkatan tapi masalah demokrasi dalam ranah yang kecil, yaitu keluarga. Keluarga adalah miniatur negara yang sangat sederhana. Di dalamnya terdapat seorang bapak sebagai simbol pemimpin yang menguasi miniatur sederhana tersebut. Seorang pemimpin dapat memilih kekuasaan tirani ataupun demokrasi. Dan dalam cerita ini sang Bapak menjatuhkan pilihannya pada demokrasi, ia tidak pernah menyuruh anaknya untuk menjadi kyai sepertinya dan dia memberi kebebasan berfikir bagi anaknya. Nampaknya ia sadar bahwa “kesempurnaan” berfikir akan tercipta bila adanya kekomplekan dan diferensiasi ( Herbert Spencer 1820 – 1903).

Maka ia tak pernah marah, ketika anaknya memakai kaos bergambar Lenin ataupun anaknya mengamini teori Darwin bahwa nenek moyang manusia adalah monyet. Saat si istri berseru anaknya jadi komunis dalam pandangan istrinya karena memakai kaos bergambar Lenin, si Bapak hanya tertawa.

“Lihat anakmu jadi kuminis.”kata ibuku. Bapak, seperti biasa, hanya tertawa. Bapak juga membiarkan adik lelakiku kuliah di jurusan peternakan, dan setelah penelitian dengan berbagai ayam ras, adikku mengamini Charles Darwin, percaya nenek moyang manusia dan monyet (juga ayam) memang sama. Tidak ada Adam dan Hawa. Bapak tak peduli dan memberinya modal untuk membuat peternakan ayam.
……………………………………………………………………………………………………………………
“Satu lagi anakmu jadi kuminis.” Kembali Bapak hanya tertawa. (saat anaknya mencoblos Partai Rakyat Demokratik )


Seolah di dalam keluarga itu terjadi keragaman dari sang Bapak, Ibu, dan kakek yang agamis dan didalamnya ada dua aliran NU dan Muhammadiyah, si aku dan adiknya yang condong ke haluan kiri. Dan ada sang adik lagi yang sekolah di IAIN Yogyakarta, dan semua itu adalah bukti kedemokratisan sang Bapak.

Meskipun begitu, salah satu adik perempuanku yang kini membaca Yassin bersama Ibu, akhirnya kuliah ke Institut Agama Islam Negri Yogyakarta.

Agaknya tokoh si Bapak ini juga menganut prinsip demokrasi yang bertanggung jawab, dengan diterangkan karakter Bapaknya oleh si aku

……. Aku tahu ia lebih risau jika anaknya mencuri ikan di kolam tetangga dari pada melihat anak yang memakai kaos Lenin atau mencoblos PRD.

Dalam tulisan itu tersirat bahwa ia memberi kebebasan pada anaknya, sepanjang tidak mengganggu hak milik orang lain.

Di dalamnya juga terjadi kritik terhadap keberanian seseorang yang hanya tampak di luarnya saja, lewat penokohan aku, Eka Kurniawan menceritakan bahwa seseorang yang terlihat berani belum tentu ia sebenarnya berani.

“Kamu memang pintar, tapi tak akan seberani itu. Kamu penakut, dan itulah mengapa kamu tak pergi ke Afganistan. Kamu selalu takut pada polisi dan tentara, meskipun kamu tampaknya tak pernah takut pada neraka.”


Dalam penokohan aku , ia juga mencerminkan kondisi masyarakat yang suka menghubung – hubungkan sesuatu. Si aku lewat penokohannya menghubungkan nasib Bapak dengan nasib negeri ini.

Misalnya, pada tanggal 28 November 1975 aku dilahirkan. Pada saat yang sama Fretelin memerdekakan Timor – Timor dan Republik Indonesia mencaploknya. Mereka berdua (Bapak dan Republik Indonesia) sama – sama memiliki anggota keluarga yang baru. Sejak itu usaha Bapak macam – macam menuai keberhasilan. Bapak bangkrut di tahun 1998. Ha, bukankah seperti itu juga Republik Indonesia, (dst).


Dalam kehidupan nyata memang tak jarang beberapa orang menghubung – hubungkan suatu kejadian dengan kejadian lain. Itulah yang di sebut oleh ahli folklor modern dengan sebutan folk belief.
Menurut ahli sosial Antropologi, Koentjaraningrat, Hal itu dapat terjadi berdasarkan hubungan sebab – akibat menurut hubungan asosiasi. Hubungan yang menyebabkan suatu asosiasi, misalnya : persamaan waktu, persamaan wujud, totalitas dan bagian, persamaan bunyi sebutan.

Kejadian tersebut nampaknya karena persamaan waktu. Satu hal lagi, Eka Kurniawan nampaknya ingin mengomunikasikan suatu hal pada pembaca yaitu sebuah kebaikan akan terus dikenang sampai mati dan mungkin dapat bermanfaat untuk sesama di lain waktu. Dia mencoba menyampaikan pada pembaca lewat ceritanya, ia tidak perlu membayar bus karena ternyata kondektur bus itu pernah di tolong ayahnya.

Lalu ia (kondektur) bus itu bercerita, beberapa tahun yang lalu ia sempat sakit gigi, tak sembuh oleh obat. Dokter tak berani mencabut giginya sebelum sakitnya hilang. Hingga seorang menyarankan menemui kyai. Sang kiai memberinya minum. ………………………….sakitnya mendadak hilang dan dokter kemudian mencabut giginya.
“Kiai itu bapakmu,” kata kondektur.


Kecerdikan penulis dalam mencoba mengakhiri dan benar – benar mengakhiri ceritanya muncul lagi.

Bahkan, pikirku, setelah meninggal Bapak masih memberiku ongkos………………Kupasang earphone dan kupejamkan mata,”Goodbye, Papa, it’s hard to die….dan segera aku terlelap.

Cipta sastra selain menyajikan nilai – nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu menyajikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini. (Boulton)

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor :Ghalia Indonesia
Danandjaja, James. 2002. Flolklor Indonesia. Jakarta : Grafiti
Hariono, Anwar. 2009. “Bukti Cinta Kepada Allah” dalam Handout Kajian Ahad Pagi, Minggu, 27 Agustus 2009. Semarang
Kurniawan, Eka. 2009.” Pengantar Tidur Panjang” dalam Kompas edisi Minggu, 1 November 2009. Jakarta : Kompas
Teeuw, A. 1988. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya

Read More......

Sabtu, 09 Oktober 2010

aku menemukanmu

dalam larut diam kebisuan
aku mulai meraba
bahasaku tak tumpah ruah seperti biasa
tak menjerit, tak memekik
karena kau tlah tertemui

Read More......