Pages

RSS

Selamat datang di Cermin Sebuah Titik
Refleksi Sunyi
Sunyi tak selamanya sepi
Sendiri hanya 'tuk mengenali pribadi
Dyah Prabaningrum (D*pra)

Minggu, 22 Mei 2011

AH...


ku coba bunuh waktu ku dulu
ah..tidak untuk saat ini
inginku lumpuhkan saja takdirku
dengan ku hidupkan waktu,
satu demi satu ku sibak misteri,
namun belum juga ku temukan kau dalam setiap sibak
ah..lelah!
tapi ku tak ingin binasa dan menyerah

Read More......

Selasa, 17 Mei 2011

LELAKIKU YANG MANJA (Flash Fiction)


Oleh Dyah Prabaningrum

Seharusnya memang seperti inilah yang terjadi. Kau lelakiku yang manja tak lagi menelpon atau meng-smsku. Ehm..bila ku ingat tentangmu, yang selalu mengutarakan apapun yang kau alami seharian, yang selalu memintaku mengechek tugas-tugasmu meski kau sadar aku lain jurusan denganmu, yang selalu memintaku untuk menemanimu ke kampus saat kamu bermasalah dengan nilai-nilaimu, ah...ku rasa kau malah memperlakukanku seperti seorang ibu. Kadang bahkan sering kau sms aku hanya untuk mengecheck bagamana kabarku, padahal malamnya kita telah bertemu, kau selalu meminta aku menerangkan pula hari-hariku, namun ketika aku berkata,"Kau dulu yang ceritakan apa saja yang terjjadi padamu hari ini?" kau akan bercerita tanpa henti dan lupa untuk balik bertanya padaku lagi lantas di sisimu aku akan diam sembari mengamati dengan jelas lekuk wajah yang Tuhan ciptakan secara sempurna.

HAHAHAHAHAHA...bukan, bukan karena kau tampan aku ada untukmu, tentu saja bukan karena itu, tapi aku juga tak pernah tahu mengapa. Oh apakah dulu aku jatuh cinta padamu? sebuah tanya yang sampai detik ini tak mampu ku jawab, yang pasti aku merasa dengan di dekatmu aku fungsikan dengan benar dua telingaku. Begitulah dulu, hari-hariku di isi sms tentangmu, lebih tepatnya tentang kegiatanmu, dan kaupun selalu memerhatikanku seolah kakak yang mencemaskan adiknya. Pernah kau katakan padaku,"Kau seperti ibuku." Aku cukup tersenyum mendengarnya. Ehem.. aku juga ingat, kau juga sering mengundangku hanya untuk menungguimu bermain PS dengan temanmu, kau cukup pintar, kau akan sediakan makanan kesukaanku dan setumpuk majalah, kadang aku bertanya dalam hatiku,"Untuk apa pula ku menungguimu bermain PS? padahal jelas sudah kau dan temanmu takkan memedulikan aku, lebih peduli dengan stick PS yang kau mainkan." Atas pertanyaan dan keraguan dalam tindakanku, aku hanya menggeleng pelan.

Terkadang kau juga tiba-tiba memintaku memasakkanmu, ku kerjai kau, ku masakkan sarden, katamu enak sekali, dan aku hanya tertawa terbahak. Banyak hal yang seharusnya menjadi kenangan indah kita atau mungkin satu hal saja yang kau kenang tapi belum ku catatat sebelumnya, saat hujan yang aku benci mengguyur pelatan, kau tarik tanganku apahal tak sedikit mauku bersentuh dengan hujan itu. Tapi kau terus menarikku, hingga basah kuyup ku rasakan, dan kau mengerjai aku, menyipratkan air itu ke mataku, au...ku pun membalasnya dan kita bermain bersama hujan. Letih sesudah itu membuatmu berkata padaku,"Kau tahu bila kau terus membenci, tak kan kau temui bahagia inikan?" Lagi-lagi ku hanya bisa tersenyum mendengar tuturmu.

Hingga pada suatu masa yang tak ku maui. Kau menelponku lewat tengah malam, nadamu ketakutan, dan ku tanya,"Ada apa?" Kau katakan padaku,"Aku mau bertemu denganmu." Ku katakan,"Ini dah larut malam, tak mungkin ku keluar." Tapi di sana kau sungguh begitu ketakutan, ku tanya lembut,"Mengapa? sambil ku suruh tata emosimu." Akhirnya kau bercerita, lama ku dengar ceritamu ada nada resah, takut, dan kebingungan. Katamu, tiga bulan yang lalu kamu bertemu mantanmu, dan telah dua bulan ini ia tak menerima tamu yang tak rutin terjadi padanya walau rutin terjadi pada wanita. Tamu itu adalah tamu wanita sekaligus pertanda ada tidaknya sesuatu yang lain hidup di rahimnya. Kali ini ku rasa bukan nafasnya yang tersendat sendat, nafaskupun juga, entah kenapa aku merasa tertipu, di akhir cerita kau pinta maaf berkali-kali, tanpa kau tahu hujan yang aku benci membasahi wajahku.

Sejak saat itu ku putuskan untuk tidak membalas sms rutinmu, ku katakan cerita kita telah usai, ada wanita yang lebih berhak kau manjakan dan menjadi tempat manjamu.
Lelakiku... Percayalah, bukan aku tak mau menerimamu apa adanya, tapi lebih karena aku wanita, aku mempunyai hati yang sama dengan wanitamu kini.

Read More......

Selasa, 10 Mei 2011

KETIDAKADILAN GENDER DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY : KAJIAN FEMINISME.

KETIDAKADILAN GENDER DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY : KAJIAN FEMINISME.
Oleh :
Lisna Puji Wijayanti ( Ketua, 2150408021) 2008
Dyah Prabaningrum ( Anggota, 2150408015) 2008
Nurul Fitri ‘Amalia ( Anggota, 7211409051) 2009

ABSTRAK
Kajian Feminisme ikhwal karya sastra yang ternyata masih langka. Penulisan artikel ini berfokus pada salah satu aspek dari masalah feminisme yakni “ Ketidak Adilan Gender Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy”. Kajian ini meliputi : 1) Bagaimana bentuk ketidakadilan gender dalam novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy, 2) Apa penyebab ketidakadilan gender dalam novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy. Tujuan penelitian ini ialah 1. Mendeskripsi ketidakadilan gender dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy dengan menggunakan analisis sastra feminis. 2. Mendeskripsi penyebab ketidakadilan gender dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy.
Dalam hal ini penulis ingin menganalisis tentang Ketidakadilan Gender Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy terkait dengan cara pandang terhadap peran laki-laki dan perempuan.Dengan menggunakan pendekatan deskriptif melalui teknik pustaka, simak, dan catat, peneliti mencoba melakukan penelitian terhadap perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang ditunjukkan oleh keberadaan tokoh-tokoh pada berbagai peristiwa yang terkait dengan masalah ketidaksetaraan gender dan ketidakadilan gender.
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang hidup ini, jika tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan, terutama terhadap kaum perempuan (Fakih, 2007: 12).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci dasar penelitian ini sebagai berikut. Berdasarkan segi penceritaan, novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy layak untuk dikaji secara feminisme karena mengungkapkan ketidakadilan gender yaitu permasalahan perempuan yang diperlakukan tidak adil oleh kehidupan.
Kata Kunci : Feminisme dan Ketidakadilan gender.

A. Pendahuluan
Kajian feminisme ihwal karya sastra yang ternyata masih langka. Kelangkaan kajian yang demikian mendorong peneliti untuk berkecimpung di dalam bidang sastra, khususnya feminisme untuk memberikan tanggapan nyata lewat analisis kajian. Analisis kajian ini dapat dianggap upaya menanggapi kelangkaan kajian tentang ketidakadilan gender. Tidak dipungkiri bahwa ketidakadilan gender adalah masalah yang penting untuk diteliti dalam karya sastra.
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang hidup ini, jika tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan, terutama terhadap kaum perempuan (Fakih, 2007: 12).
Tokoh-tokoh dan masalah-masalah yang dimunculkan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Pada dasarnya, novel tersebut menceritakan perjalanan hidup Nisa sebagai tokoh utama yang menemui beberapa masalah dan mengalami ketidakadilan gender dalam hubungannya dengan tokoh-tokoh yaitu Samsudin, Khudori, Kalsum, dan Rizal. Nisa yang diperlakukan tidak adil, karena dia perempuan yang selalu dinomor duakan dalam kehidupan, sedangkan yang lebih diutamakan adalah laki-laki. Semua yang dilakukan harus atas izin laki-laki. Sehingga laki-laki bisa berbuat semena-mena dalam kehidupan ini.
Ketidakadilan gender yang terkandung dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban terkait dengan cara pandang terhadap peran laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ditunjukkan oleh keberadaan tokoh-tokoh yang mengalami berbagai peristiwa yang terkait dengan masalah ketidaksetaraan gender dan ketidakadilan gender.
B. Kajian Teoretis
Karya sastra merupakan pencerminan, gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Karya sastra merupakan untaian perasaan dan realitas sosial (semua aspek kehidupan manusia) yang telah tersusun baik dan indah dalam bentuk benda konkret.
Menurut Endraswara (2003:143) Sejak dulu karya sastra telah memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Paham tentang perempuan sebagai orang yang lemah, lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif dan sejenisnya selalu mewarnai dunia sastra sampai sekarang. Paham yang sulit dihilangkan dan terjadinya hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Figur laki-laki terus menjadi the autority mengasumsikan bahwa perempuan adalah impian. Perempuan selalu sebagai the second sex, warga kelas kedua dan tersubordinasi.
Menurut Fakih (2007: 12) Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang hidup ini, jika tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan, terutama terhadap kaum perempuan.
Untuk memahami bagaimana perbedaan gender serta menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi atau proses kemiskinan, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih.2007: 12-13).
Peneyebab ketidakadilan gender ada dua yaitu penyebab intern atau individu dan penyebab ekstern atau luar individu. Penyebab intern merupakan faktor yang timbul dari dalam tokoh tersebut. Penyebabnya bisa rasa cemburu, merasa tersisihkan, dan timbul dari rasa benci.
Penyebab eksternal merupakan faktor yang timbul dari luar tokoh. Biasanya dalam bentuk kondisi sosial yang terjadi saat itu, ataupun budaya yang mempengaruhi.dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban”terdapat penyebab intern dan ekstern yang mempengaruhi ketidakadilan gender.
C. Metode
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan ini menggunakan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif merupakan pendekatan yang berupa pengungkapan sesuatu secara apa adanya. Pendekatan yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya, sehingga yang dihasilkan berupa perian bahasa.
Pendekatan deskriptif ini digunakan karena dalam penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ketidakadilan gender dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy.
2. Sasaran Penelitian
Sasaran atau objek yang dikaji dalam penelitian ini yaitu ketidakadilan gender dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy. Ketidakadilan gender tersebut difokuskan pada bentuk, dan faktor yang mempengaruhi ketidakadilan gender.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka yaitu mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak dan teknik catat berarti, peneliti sebagai instrumen kunci melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data primer dan sumber data sekunder yakni sasaran penelitian yang berupa teks novel Perempuan Berkalung Sorban dalam memperoleh data yang diinginkan.
Pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan penyimakan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan tersebut, peneliti mencatat data-data masalah ketidakadilan gender yang ditemukan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, pembacaan dilakukan secara berulang-ulang sehingga data yang dikumpulkan dapat lebih maksimal.



4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pembacaan model semiotik yakni pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffaterre dalam Nurgiyantoro, 2007: 32-34).
Hubungan antara heuristik dengan hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik yang oleh Riffatere disebut juga pembacaan retroaktif, memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis (Nurgiyantoro, 2007: 33).
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Realisasi pembaca heuristik dapat berupa sinopsis, pengungkapan teknik cerita, dan gaya bahasa yang digunakan.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua yang berkaitan dengan penafsiran di luar teks sastra (Pradopo, 2000: 135).
Dalam sastra, pembicaraanya terbatas sebagai metode. Di antara metode-metode yang lain, hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penelitian karya sastra (Ratna, 2007: 44). Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan karya sastra. Perbadaanya, agama merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi. Agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan (Ratna, 2007: 45).
Teeuw (dalam Nurgiantoro, 2007: 34) menyatakan cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. Dari sinilah kemudian, antara lain, muncul istilah lingkaran hermeneutik (hemeneutic circle). Pemahaman karya sastra dengan teknik tesebut dapat dilakukan secara bertangga, dimulai dengan pemahaman secara keseluruhan walau hal itu hanya bersifat sementara. Kemudian, berdasarkan pemahaman yang diperoleh itu dilakukan kerja analisis dan pemahaman unsur-unsur intrinsiknya, jadi bagian per bagian. Pada giliran selanjutnya, hasil pemahaman unsur-unsur intrinsik tersebut dipergunakan, dan lebih menyanggupkan kita untuk memahami keseluruhan karya yang bersangkutan secara lebih baik, luas dan kritis.
Demikian seterusnya dengan pembacaan berulang-ulang sampai akhirnya kita dapat menafsirkan pertautan makna keseluruhan dan bagian-bagiannya dan makna intensionalnya secara optimal.
Langkah awal dalam menganalisis novel Perempuan Berkalung Sorban dalam penelitian ini adalah dengan pembacaan heuristik yaitu penulis menginterpretasikan teks novel Perempuan Berkalung Sorban melalui tanda-tanda linguistik dan menemukan arti secara linguistik.
Caranya yaitu membaca dengan cermat dan teliti tiap kata, kalimat, ataupun paragraf dalam novel. Hal itu digunakan untuk menemukan struktur yang terdapat dalam novel guna analisis struktural. Selain itu, digunakan juga untuk menemukan ketidakadilan gender yang dialami oleh Nisa sebagai tokoh uatama. Langkah kedua penulis melakukan pembacaan hermeneutik yakni dengan menafsirkan makna peristiwa atau kejadian-kejadian yang terdapat dalam teks Novel Perempuan Berkalung Sorban hingga dapat menemukan ketidakadilan gender dalam cerita tersebut.



5. Pembahasan
a. Bentuk Ketidakadlan Gender dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khaliegy.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi atau proses kemiskinan, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih.2007: 12-13)
1. Marginalisasi Perempuan
Margialisasi terhadap perempuan berarti menempatkan atau menggeser perempuan kepinggiran. Disini perempuan dicitrakan lemah. Dalam novel perempuan berkalung sorban ketidakadilan gender yang berupa marginalisasi terdapat pada kutipan berikut.

“……...apa ibu belum mengatakan padamu, kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu rizal, atau kakakmu wildan. Kau tahu, mengapa ? sebab kau ini anak perempuan,nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda pencilakan,apa lagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala……” (PBS hal. 7)
Nisa mengalami marginalisasi ketika bapaknya mengatakan bahwa yang pantas naik kuda adalah seorang laki-laki saja. Selain itu bentuk marginalisasi perempuan juga terdapat dalam kutipan di bawah ini:
“……..Rizal mengenakan celana kolor pendek untuk pergi mengembara kemana saja, mengelilingi sawah dan ladang, mengelilingi kampung kami. Ia juga bebas tertawa ngakak, meloncat dan naik pohon, pecicilan seperti tarzan. Tapi bapak tak pernah peduli. Bapak tidak pernah mengatakan kalau rizal, tak tahu adab, tak tahu sopan-santun. (PBS hal.45)
Tokoh utama dalam perempuan berkalung sorban (Nisa) mengalami marginalisasi saat ia merasa terpinggirkan karena ketika Rizal mengenakan celakan kolor pendek untuk pergi mengembara kemana saja, mengelilingi sawah dan ladang, mengelilingi kampong (sesuai kutipan di atas), bapaknya tidak pernah mengatakan Rizal tidak tahu adab dan tidak tahu sopan santun. Akan tetapi ketika Nisa melakukan hal yang sama seperti Rizal, Nisa dianggap Bapaknya tidak tahu adab dan tak tahu sopan-santun.
2. Subordinasi Perempuan
Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sahingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 2007: 15). Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan.
Subordinasi pada perempuan berkalung sorban terdapat pada kutipan dibawah ini.
“…….ruang bermainku mendapat pagar baru, lebih tinggi dan sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan rizal, wildan dan bapak yang terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak………..(PBS hal.8)
…………..aku sering mencuri pandang kearah meja makan yang masih terlihat dari tempat cucian. Mengamati wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka. (PBS hal.9)
Nisa mengalami subordinasi ketika ruang bermainnya dianggap terbatas dan ia mempunyai kewajiban domestic sementara kaum laki-laki (Bapak, Rizal, dan Wildan) selalu bebas dan tidak dituntut untuk melakukan hal-hal yang bersifat domestic seperti (mencuci piring). Selain itu subordinasi juga terjadi dalam kutipan di bawah ini:
ketika nisa bertanya pada mereka (wildan, rizal, dan bapak) kenapa mereka tertawa terbahak-bahak Wildan menjawab, “jangan begitu nisa, kita kan sedang bicara urusan laki-laki”, tambah wildan. Seperti bagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Kecuali bersiap diri dan berangkat bersama rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami. (PBS hal.10)
Dalam kutipan diatas, subordinasi tampak dengan adanya jawaban Wildan yang menyatakan bahwa Nisa tidak boleh tahu karena itu urusan laki-laki dan ia tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berbicara. Adapun subordinatif yang lain tergambar dalam percakapan di bawah ini:
………dalam adat istiadat kita, dalam budaya nenek moyang kita, seorang laki-laki memiliki kewajiban dan seorang perempuan juga memiliki kewajiban. Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik di kantor, disawah, dilaut atau dimana saja, asal bisa mendatangkan rejeki yang halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka memiliki kewajiban, yang terutama adalah mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang perempuan. Demikian juga memandikan anak, menyuapi, menggantikan popok, dan menyusui, itu juga kewajiban seorang perempuan……(PBS hal.12)
Dalam kutipan diatas, subordinasi tampak dengan adanya wacana dari guru Nisa bahwa kaum laki-laki di prioritaskan bekerja diluar (di kantor, di sawah, di laut), sedangkan kaum perempuan bekerja didalam rumah (mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu). Dalam novel perempuan berkalung surban subordinasi yang terjadi pada perempuan tidak hanya di berhenti di situ tapi juga masih ada yang lain:
“benar, mbak. Habis rizal dan wildan kembali tidur, sementara nisa harus membersihkan tempat tidur dan membantu ibu memasak di dapur. Sementara rizal dan wildan masuk lagi ke kamar, katanya mau belajar, padahal nisa lihat sendiri mereka kembali tidur sehabis shalat subuh.
Diperkuat saat nisa berkata dengan ibunya, mau mengerjakan PR, ibunya tidak suka, sedangkan rizal dan wildan diperbolehkan dikamar. (PBS hal.21)
Nisa mengalami subordinasi ketika sehabis shalat subuh, ia harus membersihkan tempat tidur dan membantu ibu memasak di dapur sedangkan Rizal dan Wildan diperbelohkan ibu untuk masuk kamar (tidur).
Ibu pilih kasih gerutuku dalam hati, rizal hanya tiduran tidak dimarahi, sementara aku yang sedang belajar sesuatu palah dimarahi. (PSB hal.24)
Dalam kutipan diatas Nisa mengalami subordinasi, ketika Nisa ingin belajar sesuatu dimarahi ibunya sedangkan Rizal tiduran tidak dimarahi ibunya. seakan-akan apapun yang dilakukan Nisa itu tidak penting.
“…..tidak seperti wildan dan rizal yang bebas keluyuran dalam kuasanya, main bola, main layang-layang, sementara aku disekap didapur untuk mencuci kotoran bekas makanan kita, mengiris bawang hingga mataku pedas demi kelezatan dan kelaparan perut mereka. (PSB hal.44)
Nisa mengalami Subordinasi, ketika ia disekap didapur untuk mencuci kotoran, mengiris bawang hingga matanya pedas, sedangkan Wildan dan Rizal selalu bebas bermain (bermain bola dan layang-layang).
“……”perempuan mana saja yang diajak suaminya untuk berjimak, lalu ia menunda-nunda hingga suaminya tertidur, maka ia akan dilaknat oleh allah. Kemudian lanjutnya, perempuan mana saja yang cemberut dihadapan suaminya, maka dia dimurkai allah sampai ia dapat menimbulkan senyuman suaminya dan meminta keridoannya.
(anisa bertanya)” bagaimana jika istrinya yang mengajak ke tempat tidur dan suami menunda-nunda hingga isteri tertidur, apa suami juga dilaknat allah, pak kiai?
(pak kiai)”tidak. Sebab tak ada hadis yang menyatakan seperti itu. Lagi pula, mana ada seorang istri yang mengajak lebih dulu ke tempat tidur. Seorang istri biasanya pemalu dan bersikap menunggu. (PBS hal.80)
Dalam kutipan diatas Nisa mengalami subordinasi, setelah Nisa belajar tentang kitab dan didalam kitab terdapat kutipan seperti diatas. Nisa merasa betapa malangnya menjadi seorang perempuan, jika tidak boleh menolak semua yang bertentangan dengan hati nurani dan tidak mnedapatkan kesempatan untuk mengutarakan keinginannya.
3. Stereotipe Perempuan
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Di bawah ini adalah kutipan stereotipe pada perempuan dalam novel ”Perempuan Berkalung Sorban”
…..”lagi pula bukankah dulu sebelum punya anak, lek umi sendiri yang memutuskan punya anak? (pertanyaan nisa kepada lek umi).
(jawaban lek umi) memutuskan ingin punya anak, aku yang memutuskan, kau ini bicara apa Nis?
…..”tetapi aku benar-benar tidak mengerti tentang itu, Nis.
“maksudmu, kau tidak tahu bahwa kau punya hak untuk menentukan hamil atau tidak, lek?
“iya….
Dan lek mahmud tidak pernah menanyakan padamu, apa kau sudah siap mengandung atau belum, atau kau ingin menundanya mungkin?
Sama sekali tidak. Mungkin aku terlalu sibuk dan tak pernah membicarakan masalah seperti itu.
Yang sibuk itu hanya kamu,lek, sebab kau tangani sendiri dan masalah seperti itu harusnya dibicarakan dulu berdua dan kaulah yang berhak menentukannya, sebab kaulah yang akan menanggung bebannya. (PBS hal265-267).
Dalam kutipan diatas lek Umi mengalami stereotipe, lek Mahmud tidak pernah menanyakan pada lek Umi, apakah lek Umi sudah siap mengandung atau belum. Lek Umi mempunyai hak untuk menanyakan hal itu kepada lek Mahmud. Tetapi lek Umi tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menanyakan hal seperti itu karena lek Umi merasa takut kalau nanti lek Mahmud marah .
4. Kekerasan Perempuan.
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
“…..Lalu mengguling-gulingkan tubuhku dengan paksa. Dengan paksa pula ia buka bajuku, dan semua yang menempel di badan.
“Aku meronta kesakitan, tetapi ia kelihatan semakin buas dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-lipat.
“….kedua tangannya mencengkeram bahuku sekaligus menekan kedua lenganku.
“Aku hendak berteriak, tapi kalah cepat dengan telapak tangannya yang membungkam mulutku.
“O,ya, tahu apa kau tentang perilaku muslim, isteriku sayang?” Sambil mencemooh, tangan kanannya bergerak ke arah dada kiriku dengan keras. Aku kembali kesakitan.
(PBS hal 96-97)

Dalam kutipan diatas Nisa mengalami kekerasan perempuan, saat Nisa diperlakukan secara paksa oleh Samsudin untuk melayani hasrat seksual dengan paksaan, sehingga Nisa mengalami kesakitan, ketika tangan kanan Samsudin bergerak ke arah dada kiri Nisa dengan keras. (PBS hal 96-).
“…..Jika sekali waktu ia mendapatiku telah berganti tempat tidur di atas kursi untuk menjauhinya, ia akan menyeretku kembali ke atas ranjang dan mengikat tubuhku dalam pelukannya.
“….Seolah aku perempuan budak yang baru dibeli dari rampasan perang Khaibar. Sehingga ia tak sedikitpun merasa bersalah pada tingkahnya. (PBS hal.99)

Nisa mengalami kekerasan dalam bentuk pemaksaan dalam keluarga. Ketika Nisa di seret kembali ke atas ranjang yang mengakibatkan ia berimajinasi seolah-olah Nisa perempuan budak yang baru dibeli dari rampasan perang Khaibar.
“…Sering ketika aku sedang mengepel lantai, ia datang diam-diam dari belakang, mendekapku, mencumbuiku dan memaksaku untuk bermain cinta di lantai itu juga tanpa memberi kesempatan kepadaku, bahkan sekedar untuk bernafas dari jepitan mulutnya yang dipenuhi oleh bau asap rokok. (PBS hal.102)

Nisa mengalami kekerasan dalam bentuk pemaksaan dalam Keluarga, ketika Nisa dipaksa Samsudin untuk bersenggama di lantai tanpa memberi kesempatan kepada Nisa untuk menjawab mau atau tidak.
“…..Bahkan ia juga memilih kesukaannya bagian-bagian mana dari tubuhku untuk dicengkeram. Dicakar-cakar semaunya, seakan aku ini kambing kurban yang sedang berada di tangan penjagal.
“….lalu menggeram untuk kemudian menekan kuat-kuat wajahku diatas bantal sambil mengeluarkan sumpah serapah tujuh turunan dan kata-kata makian yang diambil dari kamus kebun binatang. Setelah menampar, mencekik dan menjambak rambutku dengan pebuh kebiadaban, setelah melihat tenagaku lemas tak berdaya, ia pergi sambil meludahi wajahku berkali-kali. Busuk sekali bau ludahnya.(PBS hal. 102-103)

Nisa mengalami kekerasan dalam bentuk serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga. Ketika Nisa dicakar-cakar semaunya, ditekan kuat-kuat wajahnya diatas bantal, menampar, mencekik dan menjambak rambutku dengan pebuh kebiadaban oleh Samsudin.
“….ia memaksaku untuk melayani seluruh sisa-sisa tenaganya, hingga nyeri itu semakin berlipat dan menjalar ke dalam perut bersama rasa sakit dan mual yang tak terkira. (PBS hal.108)

Dalam kutipan diatas Nisa mengalami kekerasan dalam bentuk pemerkosaan dalam perkawinan yang dilakukan Samsudin untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan Nisa.
“Sudah! Sudah! Dasar perempuan gila. Aku tak perlu bicara denganmu, dengan lidah kasarmu! Aku muak! Aku menyesal telah menikahimu, wanita lancang. Dasar ….(ia menyebut kata-kata kotor yang sulit kutirukan di sini) Oke! Mulai hari ini kita akan tidur terpisah dan jangan coba-coba untuk menasehatiku, lidah ular!”

Dalam kutipan diatas Nisa mengalami bentuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh Samsudin dengan menyampaikan kata-kata kasar pada Nisa.
5. Beban Kerja Perempuan
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Hal tersebut dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban“ terdapat pada kutipan dibawah ini
“Apa semua pekerjaan rumah tangga, lek Umi sendiri yang menangani bukankah lek Mahmud juga suka turun tangan?
“Paling-paling yang dikerjakan mas Mahmud hanya menyuapi Sania kalau pagi. Selebihnya aku semua yang mengerjakan. Kau bisa bayangkan betapa capeknya, dari mencuci baju dan prabot dapur, menyapu, mengepel, memasak, dan menyetrika pakaian. Kadang-kadang mas Mahmud kadang mau juga menyetrika, jika kebetulan Sania rewel dan minta bersamaku.





b. Penyebab ketidakadilan gender pada novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khaliegy.
Peneyebab ketidakadilan gender ada dua yaitu penyebab intern atau individu dan penyebab ekstern atau luar individu. Penyebab intern merupakan faktor yang timbul dari dalam tokoh tersebut. Penyebabnya bisa rasa cemburu, merasa tersisihkan, dan timbul dari rasa benci.
Penyebab eksternal merupakan faktor yang timbul dari luar tokoh. Biasanya dalam bentuk kondisi sosial yang terjadi saat itu, ataupun budaya yang mempengaruhi.dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban”terdapat penyebab intern dan ekstern yang mempengaruhi ketidakadilan gender.
1. Faktor Intern
Penyebab ketidakadilan gender dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” berasal dari dalan individu sendiri karena lemahnya tokoh wanita sehingga terjadi dominasi atas laki-laki. Hal tersebut termanifestasi dalam kutipan dibawah ini.
“Aku meronta kesakitan, tetapi ia kelihatan semakin buas dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-lipat.
“….kedua tangannya mencengkeram bahuku sekaligus menekan kedua lenganku.
“Aku hendak berteriak, tapi kalah cepat dengan telapak tangannya yang membungkam mulutku.
(PBS hal 97)
Kutipan diatas menggambarkan terjadinya dominasi atas laki-laki karena lemahnya fisik perempuan sehingga terjadi pemerkosaan yang dilakukan Samsudin terhadap Nisa. Saat Nisa diperlakukan senonoh ia berusaha melawan walaupun hanya dengan teriakan, akan tetapi kalau cepat dengan telapak tangan samsudin yang membekap mulut Nisa. Adapun faktor intern lainnya adalah rasa cemburu yang dihadapi tokoh utama (Nisa) hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.
“……...apa ibu belum mengatakan padamu, kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu rizal, atau kakakmu wildan. Kau tahu, mengapa ? sebab kau ini anak perempuan,nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda pencilakan,apa lagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala……” (PBS hal. 7)
“…..tidak seperti wildan dan rizal yang bebas keluyuran dalam kuasanya, main bola, main layang-layang, sementara aku disekap didapur untuk mencuci kotoran bekas makanan kita, mengiris bawang hingga mataku pedas demi kelezatan dan kelaparan perut mereka. (PSB hal.44)
“……..Rizal mengenakan celana kolor pendek untuk pergi mengembara kemana saja, mengelilingi sawah dan ladang, mengelilingi kampung kami. Ia juga bebas tertawa ngakak, meloncat dan naik pohon, pecicilan seperti tarzan. Tapi bapak tak pernah peduli. Bapak tidak pernah mengatakan kalau rizal, tak tahu adab, tak tahu sopan-santun. (PBS hal.45)
“…….ruang bermainku mendapat pagar baru, lebih tinggi dan sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan rizal, wildan dan bapak yang terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak………..(PBS hal.8)
…………..aku sering mencuri pandang kearah meja makan yang masih terlihat dari tempat cucian. Mengamati wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka. (PBS hal.9)
“benar, mbak. Habis rizal dan wildan kembali tidur, sementara nisa harus membersihkan tempat tidur dan membantu ibu memasak di dapur. Sementara rizal dan wildan masuk lagi ke kamar, katanya mau belajar, padahal nisa lihat sendiri mereka kembali tidur sehabis shalat subuh.
Diperkuat saat nisa berkata dengan ibunya, mau mengerjakan PR, ibunya tidak suka, sedangkan rizal dan wildan diperbolehkan dikamar. (PBS hal.21)
Ibu pilih kasih gerutuku dalam hati, rizal hanya tiduran tidak dimarahi, sementara aku yang sedang belajar sesuatu palah dimarahi. (PSB hal.24)
Dari kutipan beberapa diatas dapat kita lihat bahwa Nisa merasa cemburu karena perlakuan orang tua (Bapak dan Ibu tokoh utama terhadap Nisa (perempuan) dengan kakaknya (laki-laki) dibedakan. Laki-laki seolah-olah bebas melakukan tindakan sesuka hatinya sedangkan perempuan tidak bebas melakukan hal-hal yang disukai.




2. Faktor Ekstern
Pada dasarnya penyebab ketidakadilan gender dari faktor ekstern yang terjadi dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” adalah akibat idiologi patriarkal dan penanaman nilai agama dimana landasan kitab dan hadis yang dipakai berpihak pada laki-laki.
idiologi patriarkal dapat dilihat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban pada kutipan dibawah ini
………dalam adat istiadat kita, dalam budaya nenek moyang kita, seorang laki-laki memiliki kewajiban dan seorang perempuan juga memiliki kewajiban. Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik di kantor, disawah, dilaut atau dimana saja, asal bisa mendatangkan rejeki yang halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka memiliki kewajiban, yang terutama adalah mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang perempuan. Demikian juga memandikan anak, menyuapi, menggantikan popok, dan menyusui, itu juga kewajiban seorang perempuan……(PBS hal.12)
Kutipan diatas menggambarkan penyebab ekstern dari ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” sehingga menimbulkan manifestasi ketidakadilan gender berupa sub koordinasi terhadap perempuan.
Penanaman nilai agama dimana landasan kitab dan hadis yang dipakai berpihak pada laki-laki.
…..ketika jadwal belajar kitab harus dilaksanakan dan bintang dilangit mulai bertebaran, para santri mulai bergegas menuju serambi masjid disebelah kiri. (PBS hal.78)

…..ustad Ali mulai mensitir sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat nabi bernama Abdulah Bin Mas’ud R.A yang berbunyi,”Perempuan mana saja yang di ajak suaminya untuk berjimak lalu ia menunda-nunda hingga suaminya tertidur, maka ia akan dilaknat oleh Allah”. Kemudian lanjutnya, “perempuan mana saja yang cemberut dihadapan suaminya maka dia dimurkai Allah sampai ia dapat menimbulkan senyuman suaminya dan meminta keridhoannya.”(PBS hal 79-80).
Hanya hak-hak laki-laki yang disebutkan ustad Ali, sedangkan hak-hak perempuan tidak pernah disebutkan. Contoh selain hadis diatas yang menyebutkan hak-hak laki-laki adalah
“Apabila seorang perempuan berkata kepada suaminya. Ceraikanlah aku! Maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dengan muka tidak berdaging, lidahnya keluar dari kuduknya dan terjungkir dikerak jalanan, sekalipun siang hari dia berpuasa dan malam hari bangun shalat selamanya. (PBS hal 76).

“perempuan yang mengeraskan suara terhadap suaminya, maka segala sesuatu yang terkena sinar matahari akan melaknatinya. (PBS hal.77)

Hadis-hadis tersebut menyebabkan pemahaman bahwa perempuan harus menghamba pada laki-laki sehingga dapat mengakibatkan ketidakdilan gender yang berbentuk stereotipe yang termanifestasikan dalam kekerasan terharap perempuan.
6. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Manifestasi ketidakadilan gender yang ditemukan dalam penelitian ini mencangkupi semua hal yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan perempuan, beban kerja perempuan. 2) Penyebab terjadinya ketidakadilan gender adalah faktor intern dan ekstern. Penyebab intern ketidakadilan gender dalam novel ”Perempuan Berkalung Sorban” adalah lemahnya fisik tokoh perempuan dan kecemburuan sosial tokoh perempuan terhadap tokoh laki-laki. Sedangkan faktor ekstern dikarenakan idiologi patriarkal serta penanaman nilai agama dimana landasan kitab dan hadis yang dipakai berpihak pada laki-laki.

7. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti ketidakadilan gender dapat diminimalisir dengan cara memahami faktor-faktor penyebab ketidakadilan gender dan apabila hal tersebut merupakan manifestasi dari budaya patriarkal, hal tersebut dapat diminimalisir dengan diskusi bersama lawan jenis sebelum menikah. Agar terjadi titik temu pola pemikiran sehingga saat berumah tangga, tidak terjadi rasa tidak adil yang menyebabkan faktor internal muncul seperti kecemburuan sosial, merasa tersisihkan, dan timbul rasa benci. Diskusi tersebut juga dapat menjadi pengingat ketika “laki-laki” ingin melakukan kekerasan terhadap perempuan terhadap ” isteri”. Apabila ketidakadilan gender itu disebabkan karena penanaman nilai agama yang cenderung berpihak terhadap hak laki-laki maka sebaiknya baik perempuan maupun laki-laki memperdalam pemahaman agama terutama yang berkaitan dengan hak-hak perempuan yang terdapat didalam ajaran agama.
Peneliti menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itulah peneliti mengharapkan agar hasil penelitian ini dapat menjadi pemicu untuk mengembangkan wacana kritik sastra feminis secara lebih luas. Hal ini bukanlah mustahil jika mengingat bahwa gender adalah masalah local yang berbeda-beda menurut tempat, waktu, dan kondisi sosio kultur masyarakatnya.
Peneliti menyadari adanya kekurangan dan kelemahan dalam anĂ¡lisis novel “Perempuan Berkalung Sorban” peneliti berharap agar ada penelitian yang lebih mendalam untuk mengkaji ketidakadilan gender dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban”.

8. Daftar Pustaka

Abidah El Khalieqy. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta:Arti Bumi Intaran ; 2001.
Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2007.
Ema Markumah. Konstruksi Sosial Gender di Pesantren. Yogyakarta: LkiS;2011.
Furqonul Azies, Abdul Hasim. Menganisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia;2010.
Lorraine Gamman, Margaret Marshment. Tatapan Perempuan.Yogyakarta: Percetakan Jalasutra;2010.
Mansoeur Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2007.
Nelly Van Doorn- Harder. Meningbang Tafsir Perempuan Terhadap Alqur’an.Salatiga: Pustaka Percik.
Rachmat Djoko Pradopo. Pengkajian Fiksi.Yogyakarta:Gajah Mada University Press; 2000.
Sri Wahyuningtyas, Wijaya Heru Santoso. Sastra:Teori dan Implementasi.Surakarta:Yuma Pressindo; 2011.
Suwardi Endraswara. Etika Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: PT Suka Buku;2010.
Syarif Hidayatullah. Teologi Feminisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;2010.

Read More......