Pages

RSS

Selamat datang di Cermin Sebuah Titik
Refleksi Sunyi
Sunyi tak selamanya sepi
Sendiri hanya 'tuk mengenali pribadi
Dyah Prabaningrum (D*pra)

Rabu, 31 Juli 2013

teringat ibu

Kalau dibilang keluarga kami kaya, tentu tidak, tapi kalau berkecukupan, saya pikir iya. Ibuku seorang pns begitu pula dengan ayahku. Hanya saja ibuku unik, ia memiliki cara pandang yang berbeda dengan ibu2 yang lain. Jujur kadang cara pandang itu menjengkelkan. Dari kecil yang aku rasakan ibuku selalu mendidik kami, anak-anaknya untuk membeli sesuatu yang dibutuhkan, sehingga kami jarang sekali membeli sesuatu yang kami inginkan tetapi tidak kami butuhkan. Dampak dari sikap ibuku tersebut adalah kami benar-benar jarang seperti remaja yang lain, yang sering sekali ke salon, atau sering sekali ke mall. Eits.. namun jangan salah sangka, masalah peralatan sekolah, buku pelajaran, sampai buku2 saintek ibuku akan membelikannya dengan senang hati, asal kami mengajukan anggaran. Seberapapun mahalnya buku, ibuku mencoba mencukupinya. Ibuku memang abai dengan pemenuhan kebutuhan penampilan, tapi ia sangat peduli dengan pemenuhan kebnutuhan ketrampilan. Meski aku tidak pandai menari, dulu aku dimasukkan ke sanggar tari, kakakku diajari menjahit, dan adikku katanya waktu kecil pernah dimasukkan di sanggar lukis untuk belajar melukis. Akupun dengan berbekal uang darinya pernah kursus bahasa inggris dan keyboard, meski aku tak bisa bermain musik dengan baik. Ibukupun pernah mengizinkan aku kursus table manner di sebuah hotel di jogjakarta.
Dulu aku sering protes dengan masa pertumbuhanku. Aku tumbuh tidak seperti gadis-gadis yang lain yang mampu memilih segala model baju terbaru, yang mampu memilih make-up terpas untuk kulit wajahnya, yang selalu tampil menawan. Sempat frustasi pula kenapa untuk hal yang remeh-temeh aku harus belajar. Namun, kadang  muncul kesadaran, semoga segala hal yang sedang ku bentuk merupakan suatu ibadah tersendiri. Positif thinkingku," Mungkin dengan bekal pembelajaran -membeli yang dibutuhkan- suatu saat ketika menjadi seorang yang mendapat amanah yang cukup berat, aku mampu menjadi seorang yang terpercaya, dan semoga pula itu bekal untuk menuju kesederhanaan akhlak kelak."
Hanya sebatas mengingat.... kadang harus ku ucapkan, terima kasih ibu, karena didikanmu, Alhamdulillah proses pencarian rejekiku tidak tersendat2, semua terasa mudah, tanpa harus mencari ke sana-kemari... meski kadang dalam bersosialisasi aku mesti belajar banyak dan banyak belajar, doakan ibu, semoga proses sosialisasiku dipercepat, diperlancar, dan penuh keberkahan."

SALAM HORMATKU :-)

Read More......

Selasa, 07 Mei 2013

Wanita: Pemberdaya

Suatu kali ada seorang mahasiswa yang berbincang dengan saya, katanya,”Dia melihat kampus seperti melihat pertunjukan model.” Kata-kata itu masih cukup lekat diingatan saya. Kadang kala saya berfikir,”Tempat terbaik bagi industri bermain perang adalah tubuh dan maindset  wanita.” Lewat media, industri mengkonstruk bagaimana seharusnya wanita agar menjadi seorang yang dipuja. Berkulit cerah, berpenampilan menarik, berasesoris banyak, berparfum mewah, dan berbadan indah. Oleh karena itu, dapat kita lihat berapa banyak katalog yang berkaitan dengan aksesoris wanita, betapa genjarnya promosi make-up di media, dan betapa banyaknya brosur-brosur alat pelangsing tubuh dan obat-obatan untuk menunjang kecantikan wanita beredar. Tentu saja berpenampilan menarik tidaklah keliru karena penampilan yang menarik akan membuat seseorang nyaman berada di dalam forum yang sama, tetapi perlu dikritisi apabila penampilan yang menarik itu tak ditunjang kapasitas berfikir yang mewadai.
Wollstonecraft seorang feminis liberal menggagas wanita yang ideal adalah wanita yang dapat diharapkan untuk menginspirasi kerja produktif. Dengan sinisnya, ia mengungkapkan bahwa seorang wanita yang hanya menata dirinya-dalam hal ini fisik semata- seperti anggota ras bersayap, burung yang disimpan di dalam sangkar yang tidak mempunyai pekerjaan yang dilakukan selain memamerkan sayapnya, berjalan dengan keanggunan palsu dari tonggak satu ke tonggak lain. Mengkritisi pernyataan Wollstonecraft, saya cukup setuju dengan pernyataannya bahwa wanita sebaiknya mengispirasi kerja produktif. Kerja Produktif tentu saja bukan semata-mata kerja yang menghasilkan material tetapi juga kerja sosial yang membangkitkan semangat sesama untuk menjadi lebih baik dari segi berfikir maupun bertindak.
Pada akhirnya kebutuhan wanita bukanlah dipuja oleh banyak pria namun ia melahirkan genrasi yang tangguh pembentuk bangsa. Dari rahimnya putra-putri harapan bangsa akan lahir.Wanita adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya kelak. Tempat yang strategis untuk membuat sebuah peradaban. Dari penalaran, pemahaman, pengetahuan, dan juga tindakannya wanita akan lebih banyak menyalurkan intelegensi dan pilihan tindakan kepada putra-putri mereka. Singkatnya wanita sebagai media pertama yang nantinya akan membentuk karakteristik dan kemampuan nalar seseorang. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas berfikir dalam rangka mempersiapkan generasi selanjutnya, sebaiknya mulai menjadi prioritas ketimbang peningkatan penampilan meskipun tidak dinafikkan bahwa penampilan kadang kala menjadi sebuah cermin kreativitas. Dengan peningkatan kapasitas berfikir, diharapkan peranan wanita untuk memajukan bangsa dan melahirkan generasi pembaharu yang membuat bangsa ini lebih baik meningkat. Dengan demikian, wanita akan mampu menjadi pemberdaya pribadi maupun sosial. Perlu diingat bahwa wanita yang mensejarah seperti Cleopatra, Khatijah, Aisyah, Fatimah, Golda Meir, Indira Gandhi, Margaret Thatcer, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Ny. Inggit, dan R.A. Kartini bukan karena “wah”nya peampilan fisik semata.

Read More......