Pages

RSS

Selamat datang di Cermin Sebuah Titik
Refleksi Sunyi
Sunyi tak selamanya sepi
Sendiri hanya 'tuk mengenali pribadi
Dyah Prabaningrum (D*pra)

Selasa, 03 Januari 2012

Tanya

Oleh Dyah Prabaningrum


Aku melihat orang-orang disekeliligku terkotak-kotak, mereka melihat satu sisi dari hidupnya, focus dan mencari belahan yang pas dengan jiwanya, mereka mendapatkan bahagia, bisa bercanda dan bercerita, karena mereka dalam kotak yang sama, dalam kepatuhan hidup yang mereka rasai itu adalah ketentuan, bahkan tak jarang dari mereka menganggapnya keteraturan semesta. Tapi berbeda dengan aku, aku berada dalam benang yang kusut, seolah benang itu membuat suatu alur sendiri, ia tidak menerima, kadang mencipta, tak mengikuti alur, dan bila ku amati ia membentuk bulatan dan semacam gumpalan yang perlu ku pecahkan.
Seperti seorang Socrates ku tanya pada setiap orang yang ku kenal, ibuku, bapakkku, nenekku, dan kakakku tentang gumpalan itu, gumpalan dan lingkaran yang ada di otakku dan melilit kepala, mereka tak bodoh, tapi mereka diam. Ku tanya pada ibuku,”Ibu, apa manusia, alam, dan seisinya diciptakan oleh Tuhan karena Tuhan merasa kesepian?”. Ibuku seperti biasa mengeleng-geleng kepalanya. Ku tanya pada kakak, kakak hanya diam dan tak mau bicara. Ku tanya pada ayah, ayah malah membunuh pertanyaanku.
“Husst…nggak boleh tanya yang aneh-aneh.”kata ayah waktu itu.
Ku berbalik kepada ibu, ku tanya padanya,”Bu, kenapa ayah membunuh sebagian dari diriku, kenapa aku tidak boleh bertanya yang aneh? Apa pertanyaan tentang Tuhan itu aneh? Padahal kata guru ngajiku aku harus mengenal Tuhan agar hidupku bahagia, tapi saat aku tanya tentang hakikat penciptaanku, kenapa aku dianggap aneh?”
Sambil tersenyum ibuku menjawab,”Ya sudah tanya guru ngajimu saja.”
Bibirku manyun,”Nggak mungkin, mereka bakal mengatakan aku murtad, bisa juga kafir. Ibu, apa orang dewasa itu tidak konsisten? Menyuruh belajar tapi mematikan cara paling efektif dari belajar.”
Ibuku hanya geleng-geleng kepala dan aku datang ke tempat nenek.
“Nenek, boleh tidak aku bertanya? Apakah Tuhan itu kesepian lanta menciptakan kita?”tanyaku polos.
Nenekku malah tertawa,”Kamu lucu, Tuhan itu maha segalanya, bukan karena kesepian lantas ia menciptakanmu, tapi justru karena Ia maha, sehingga kita ini ada.”
Aku yang baru umur 8 tahun dibuat bingung oleh kata-kata nenek.
“Kita ini ada karena kemahaannya, apakah itu berarti Tuhan sombong, ia ingin menunjukkan bahwa Ia maha, maka ia ciptakan kita dan Dia tunjukkan pada ciptaannya.”
Kali ini bukan nenek yang menjawab, tapi ibu yang menyahut,” Kamu tak perlu bertanya yang aneh-aneh, tapi bila itu pilihanmu, carilah organisasi muhammadiyah, tanyanyalah pada anggotanya, ibu, ayah, nenek, dan kakakmu, nggak bisa jawab pertanyaan itu.”
Ku tatap mata ibu,”Ibu apa itu muhammadiyah? Apa dia Islam? Aku mau ikut Muhammadiyah saja, aku mau ketemu muhammadiyah,tapi ibu, apa itu organisasi, apa itu anggota?”
Ibuku hanya gedeg-gedeg,”Sudah, sudah, simpan pertanyaanmu sampai besar, ia akan terjawab oleh waktu.”
Aku berbalik menatap nenek,”Nenek, maukah nenek menjawab pertanyaanku?”
Kali ini bliau tersenyum dan menggeleng.
***
Ku lalui hari-hariku dengan tanya dan gumpalan besar yang semakin membesar seolah gumpalan dan lingkaran itu hidup rusuh dalam otakku, dalam benakku. Hingga suatu saat ada pelajaran mengarang di kelasku. Itu adalah pelajaran yang paling ku suka, karena aku pasti akan mendapatkan nilai tertinggi dari yang lain dan di dalamnya aku bebas bertanya. Ku tulis karangan itu pelan-pelan, lebih pelan dari rasa yang membuncah untuk mengetahui setiap tanya dalam hati dan jiwaku.
MUHAMMADIYAH
Tuhan aku bertanya tentangMu dan semua orang hanya menjawabnya bahwa Kau ada, Kau maha, dan Kau penciptaku. Tapi tanyaku terhenti, semakin lirih, saat ku tanya kenapa aku harus tercipta, kata guru agama, agar aku beribadah padaMu, tapi kata otakku, agar Engkau tak kesepian, tapi kata nenekku, karna Kau maha aku jadi ada. Lantas kata ibuku, aku harus mencari suatu organisasi yang tak ku tahu maknanya, seperti judul dalam karangan saja, namanya mirip dengan nama Nabiku dan diriku. , Muhammad dan Dyah… Namanya Muhammadiyah…lucu ya? Tapi nama itu tak ada di kamus yang dimiliki kakakku, yang aku yakini pasti Muhammadiyah itu akan menjadi milikku, bukankah Tuhan maha tahu, hingga ia menciptakan muhammadiyah untukku walau aku masih kecil atau jangan-jangan Muhammadiyah tercipta jauh sebelum ayah ibuku bertemu. Tapi Tuhan, aku merasa ada yang janggal Tuhan, kata ibuku muhammadiyah, bukan muhammadyah…apa berarti itu aku tak berjodoh dengannya? Aku ingin berjodoh dengannya. Aku ingin bertanya kenapa kau ciptakan aku padanya. Pertemukan aku dengannya, aku ingin bertemu pangeranku Muhammadiyah Tuhan, aku sayang dia, karena kata ibuku dia akan membiarkanku bertanya. Aku akan banyak bertanya padanya, aku akan menjaganya. Muhammadiyah…bagaimana mukamu? Apakah kau setampan Romeo, atau dia semanis pangeran yang membangunkan putri tidur, atau apakah dia sebijak nabiku, ataukah mungkin ia sepeti nabi Yusuf yang sangat memesona. Ah… aku ingin berjodoh dengannya agar aku bisa banyak bertanya padanya.
Bel berbunyi dan aku menumpuk karanganku terindah untuk pangeranku yang belum pernah kutemui” Muhammadiyah.” Dan sekarang aku merasa aku harus lebih memendam tanyaku untuk pangeranku”Muhammadiyah.”
Di umur sepuluh tahun aku kecewa, karena ku tahu ternyata Muhammadiyah bukan orang dan ternyata nama Organisasi Muhammadiyah itu bukan kepanjangan Muhammadiyah, bukan seperti nama kepanjanganku. Lebih kecewanya lagi ketika ku tanya siapa orang Muhammadiyah yang ada di desaku? Dan kata ibuku tak ada. Maka aku mulai bertanya yang aneh-aneh lagi,”Ibu, kalau Allah itu maha mampukah allah membunuh dirinya sendiri, dan menjadi mati?”
“Kamu tu ya bandel banget! Udah besok gedhe masuk muhammadiyah saja.”
Aku juga tanya kepada guruku, guruku malah melaporkan aku pada ayahku. Aku dimarahi, sehingga aku tahu di dunia ini aku hanya sendiri, nggak ada yang menemani dilingkaran ini. Aku menjadi lebih suka menulis. Ku tulis setiap tanyaku, kertas dan bolpein tak pernah memarahiku, tapi ia juga tak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku bosan dengan barang-barang yang bisu, kata orang bijak buku lebih banyak bicara dengan tintanya. Ku cari buku-buku di rak ibuku yang sudah cukup berdebu dan diletakkan di gudang belakang. Ku temkan buku tentang Filosofi Ketuhanan, tapi kata-kata di dalamnya semua asing bagiku. Aku menangis, kenapa aku terlalu bodoh? Kenapa aku tak tahu apa-apa yang ku baca.
Aku pun mulai merenung, ada satu nama yang ku ingat yaitu Socrates. Nama yang asing dan aku kembali lagi bertanya pada nenek, karena ku takut mengganggu ibu.
“Nenek mau nggak nenek bercerita untukku?”
Saat itu aku yakin nenek bisa bercerita tentang Socrates karena dulu nenek pernah bercerita ia selalu menjadi bintang kelas, ia akan malu bila punya cucu yang bodoh, maka ia menyuruhku untuk belajar agar tidak bodoh, atau raporku tak akan diambil.
“Mau cerita apa? Kancil nyuri timun?”tanya nenek,
“Enggak, bosan, masak udah gede kancil nyolong timun terus!”
“Ya udah, Pak Tani yang dicuri Timunnya?” Nenekku menggoda.
“Ah..nenek, aku penginnya cerita tentang Socrates.”
Nenek kaget,”Lho tahu dari mana kamu?”
“Kalau nenek bilang nggak mau punya cucu bodoh, aku nggak mau punya nenek b tittttttt.”
Nenekku mencubit hidungku karena aku nakal.
“Socretes itu…..”mata nenek mengambang.
“Socrates itu adalah filsuf Yunani, ia hobi sekali bertanya hingga ia dianggap gila. Tapi setelah ia mati pemikirannya dia dibukukan oleh muridnya Plato dan hingga kini namanya terkenang.”
“Apa aku seperti Socrates?”
“Ha…hahaahahha.”nenekku tertawa.
“Hust…jangan keras-keras nek.”
Nenek memandangku dan tersenyum, lantas menggangguk.
“Aku nggak mau kaya Socrtes!”
“Lho kenapa?”
“Karena ia dikenang setelah mati!”
“Hmmm…”nenekku bergumam
***
Kisah itu sudah lama ku tinggalkan. Pemikiranku bertambah liar ketika ku masuki bangku kuliah, aku semakin gencar bertanya. Dalam doaku ku ingat nama Muhammadiyah, dan selang beberapa bulan aku bertemu dengan salah satu organisasi otonom Muhammadiyah,”IMM” akupun berniat untuk tinggal di asramanya. Di situ ku temukan anugrah yang luar biasa dalam hidupku. Bertemu dengan orang-orang yang gemar bertanya tapi juga tak luput menjawab tanya.
Hari-hariku diisi rapat dan diskusi. Entah diskusi keTuhanan, fiqih, maupun keilmuan. Aku juga belajar tentang kehidupan di sini. Di tempat ini ku temukan banyak ladang pengetahuan. Bahkan kadang untuk hal yang paling kecil ku diskusikan seperti misalnya makna kata munafik, bagaimana asal-muasalnya dan bagaimana cirri-ciri orang munafik. Semuanya terangkum dalam sejarah Islam, pelan-pelan ku rubah pola pikirku, ku coba benahi sikapku yang tak karuan.
Tidak cuma itu, aku temukan keluarga baru disini, keluarga yang begitu baik denganku, yang mendampingi prosesku, yang sangat ingin ku abadikan lewat tulisan, tapi seperti eloknya sebuah jalan, tak akan menantang dan enak untuk track-trackan bila tak ada tikungan, kadang tanyakupun dianggap nge-test, padahal tak sekalipun aku ingin mengetestnya.
Ku bertanya tentang sesuatu yang mudah terucap tapi sulit untuk dilakukan. Ku bertanya tentang ketulusan hidup, apa artinya, dan bagaimana kisah yang menyejarah yang berasal dari ketulusan?
Temanku memandangku, entah karena jenuh dengan tanyaku, atau ia tak suka ku bertanya seperti itu. Entah kenapa dia tiba-tiba sensitif.


“Kamu nge-test aku?”tanya padaku.
“Nggak!” jawabku.
“Aku nggak yakin ini pertanyaan murni.”
“Aku memang tak paham tentang konsep tulus.”jawabku.
Entah apa yang dia pikirkan, tapi aku benar-benar tak paham dengan perubahan sikapnya.

“Ya udah kalau nggak mau jawab, nggak uah sewot dum.”kataku.
“Jangan-jangan selama ini kamu nge-test aku semuanya, kamu bertanya padahal kamu udah tahu semua jawabannya.”
“Kok kamu jadi sensi si, biasa aja kali.”kataku.
“Kamu berani bersumpah, kalau selama ini kamu nggak punya pengetahuan apapun atas apa yang kamu tanya?”
“Kamu tu lagi kenapa si!”kataku emosi.
“Cepet! katakan saja.”
“Nggak ada pengetahuan nol untuk sebuah pertanyaan non!”
Dia diam, dan aku takut, aku akan kehilangan teman diskusi yang paling mngasyikkan.
Ku ucapkan pelan padanya,”Dari dulu banyak filsof yang menginginkan sebuah pertanyaan murni, pengetahuan nol, Descartes, Karl Popper, dan Geertz menginginkan itu, tapi nyatanya? Edward Said membuktikan bahwa intelektualisme hanyalah repetisi, Seorang Psikoanalis Prancis, Jacques Lacan menyatakan: tidak ada subjek yang betul-betul mandiri, bahkan novelis Ayu Utami pernah mengutarakan: ilmu pengetahuan manusia bisa ditularkan lewat darah, gnosis sanguinis. Itu berarti tak ada pengetahuan nol, begitu pula pertanyaan murni. Mau lihat buktinya? Daftar pustaka, footnotes, bahkan sebelum bertanya tentang hal diluar dirinya ia lebih dulu bertanya pada dirinya. Dan tak ada sekalipun maksudku nge-test kamu, aku hanya ingin memperdalam ilmuku, menambah wawasanku. Jangan marah lagi ya…”kataku cukup lembut.
TUT..TUT..TUT….
Telepon terputus. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya, kali ini mungkin aku harus diam sejenak, tak bertanya dulu, hingga keadaan membaik. Doaku dalam hati,”Tuhan…ku tahu hasrat ingin tahu hanya bisa terpenuhi dengan ilmu dan pengetahuan, maka jangan Kau izinkan aku berhenti membaca, berhenti belajar, ku mohon Tuhan.”
Ku lihat sekitarku, seolah bonekaku bicara,”Dyah..sekarang kau tak sendirian di lingkaran dan gumpalan itu, kamu punya teman, dan jagalah baik-baik keluarga barumu.”
Ku dekati bonekaku,”Tapi dia diam, apa dia akan terus jadi temanku di lingkaran dan gumpalan ini?”
Mata boneka itu berkata lagi, lagi, dan lagi, sekarang aku berdiskusi dengannya, dengan bonekaku. ^_^