Pages

RSS

Selamat datang di Cermin Sebuah Titik
Refleksi Sunyi
Sunyi tak selamanya sepi
Sendiri hanya 'tuk mengenali pribadi
Dyah Prabaningrum (D*pra)

Selasa, 03 Januari 2012

BONEKA

Oleh Dyah Prabaningrum


Aku bertemu dengannya saat aku pulang kuliah dan menangis tersedu-sedu. Mungkin ia iba atau lebih tepatnya kasihan padaku. Semenjak saat itu ia menjadi dekat denganku. Ia selalu bersamaku, menemani hari-hariku, terkadang mengajariku tentang tugas-tugas yang begitu sulit. Dia begitu baik dan manis. . Entah karena cocok atau karena sesuatu hal yang lain ia mulai bercerita padaku, tentang kelasnya, tentang keluarganya, dan tentang teman-temannya. Ada si gendut yang tak pernah berhenti makan sebelum ia benar-benar merasa kenyang. Tentang si tikus yang tak pernah lupa membawa contekan saat ulangan. Tentang si kribo yang tak pernah lepas dari sikap optimisnya, dan tak kalah menariknya tentang cewek-cewek pengangumnya. Aku adalah pengagum dongeng masa kecil, jadi mendengar ceritanya adalah hal yang menyenangkan bagiku.
Dia dulu sering bercerita tentang si Gendut saat puasa. Saat puasa, si Gendut yang se-kos dengannya, mengumpulkan banyak makanan, dia kadang-kadang mengendap-endap ke tempat persembunyiaan makanan. Tapi ternyata ia tidak kuat menghabiskan makanan yang ia kumpulkan sendirian, katanya ia sering menyimpan makanan itu dengan rencana dimakan lagi sehabis tarawih. Yang terjadi padanya jangankan ia bertahan sampai tarawih, dengan perut kekenyangan setelah perutnya membuncit dan shalat magrib, ia ambruk di tempat tidur, makanan itupun telah membusuk ketika waktu sahur, hampir setiap saat begitu. Hingga akhirnya dia mempunyai ide yang menurutnya cemerlang, kembali lagi ia menumpuk makanannya, kali ini bukan makanan basah, tapi makanan kering. Sehari-dua hari makanan kering itu aman, tetapi lama kelamaan dengan terpaksa ia harus memberi riski pada semut-semut nakal.
Kakakku juga tak lupa bercerita tentang si tikus dan si kribo. Seperti kisah dalam “Tom and Jerry,” si Jerry yang selalu beruntung . Ia sering membuat kode-kode rahasia yang hanya diketahui oleh kakakku, si tikus, dan si kribo. Dari pegang kepala yang berarti “aiu”, pegang rambut yang berarti “ciau”, atau pegang jidat yang berarti “taucime”. Dia juga mahir membuat rumus matematika dengan bahasa tubuhnya yang kata kakakku karena bahasa tubuhnya, kakakku langsung hafal rumus-rumus itu. Si tikus selalu mendapat nilai yang memuaskan.
Kakak juga bercerita tentang si kribo, si kribo yang selalu optimis. Si Kribo tak suka bersalaman dengan orang-orang penting di momen-momen seminar nasional. Si Kribo selalu bilang besok saya yang akan menjadi orang penting seperti dia, jadi seperti patih Gajah Mada yang terkenal, ia tidak akan bersalaman dengan orang penting, sebelum ia menjadi orang penting.
Kakakku juga sering bercerita tentang banyak wanita yang didekatnya. Dari ceritanya aku bisa membayangkan betapa sexy dan cantik wanita-wanita disekelilingnya. Tapi kali ini kakakku lain, ia suka sekali membawa boneka-boneka berbie ke kosku dan tidak lagi suka bercerita tentang teman-temannya. Dari yang berambut pirang sampai yang berambut hitam. Dari yang dibuat dari plastik putih sampai yang hitam dan kuning. Padahal aku telah bilang pada kakak, bahwa aku lebih suka boneka katak, boneka beruang, boneka bebek, atau boneka lumba-lumba untuk dibawa ke kosku. Karena bagiku boneka katak, boneka bebek, boneka beruang, dan boneka lumba-lumba lebih menarik, lebih unik, dan lebih lucu dari boneka berbie. Tapi kakak tak peduli, berkali-kali kakak membawakan boneka berbie itu untukku. Kadang aku bermain boneka itu bersama kakak. Boneka-boneka itu berambut panjang. Kakak paling suka mengelus-elus rambutnya. Aku hanya menatap kakak yang seolah sedang membuat lebih rapi bonekanya. Boneka itu diam saja. Kakak juga sering menggerakkan tangannya tapi boneka itu tetap tersenyum, sama seperti tadi. Boneka-boneka itu begitu manis. Aku terkesan dengan kemanisan mereka, kadang aku ingin seperti mereka. Oh ya sehabis aku dan kakak bermain dengan boneka itu, kakak selalu memintanya kembali, katanya minggu depan ia akan menggantinya dengan yang lebih bagus.
Ada satu boneka, dia tidak begitu cantik, tapi aku suka. Dengan mesin yang ada dalam dirinya, boneka ini bisa bergerak. Yang paling aku suka adalah boneka ini bergerak menjauh bila ia tersentuh di bagian pinggul, karena di pinggulnya ada tombol untuk menggerakkannya. Boneka ini juga bisa bergerak mendekat kalau ada suara tepuk tangan disekitarnya, katanya boneka ini peka dengan gelombang bunyi. Aku sangat menyukai boneka ini, ia bukan berbie tapi ia unik. Dan kata kakak ia akan menggantinya 3 hari lagi. Aku menangis, aku berkata pada kakak,”Adik sayang dengan boneka ini, kenapa kakak mau mengganti?”, tapi kakak cuek dengan rasaku walau tetap menjawab,”Kakak bosan.”
Aku tambah menangis tak karuan,”Kakak jahat, itu boneka kakak yang paling adik suka.”
Pikiran nakal kekanak-kanakanku mulai muncul. Aku menyembunyikan boneka itu di kolong meja agar kakak tak mengambil boneka itu untuk di bawa pulang. Tapi kakak sungguh berpengalaman, kakak tahu dan benarlah tiga hari kemudian kakak membawa boneka baru.
Aku mengutuki kakak. Aku sebal! Kakak jahat, walaupun itu boneka, tapi tak seharusnya kakak mencampakkan boneka-boneka itu. Aku mulai membeci kakak, tapi aku tak mungkin bisa membenci seutuhnya, karena aku masih ingin disampingnya untuk mendengarkan cerita dan menemaninya bermain. Saat aku, boneka, dan kakak bermain bersama, pasti hanya boneka itu yang menyita perhatian kakak. Kadang aku iri, aku ingin seperti boneka itu yang mungkin malah benar-benar disayangi kakak. Aku ingin seperti boneka itu cantik dan pendiam, juga tidak banyak protes. Boneka itu memang hebat. Dia selalu tersenyum didepanku dan didepan kakak. Matanya selalu berbinar, kecantikannya selalu terpancar.
“Ah mungkin itu memang disain dari pabriknya,’’batinku.
Boneka baru kakak kali ini tidak lebih putih dari kemarin, matanya bisa bergerak-gerak lucu sekali. Benar-benar putih dengan mata yang bisa berkedap-kedip. Entahlah karena kesebalanku dengan kakak aku mulai tak mau diajak bermain boneka lagi. Tapi tetap saja kakak selalu datang ke tempatku dengan membawa bonekanya.
Hebat, tidak seperti biasanya kakak betah dengan bonekanya. Kali ini entah telah berapa pekan kakak tidak mengganti bonekanya. Sepertinya kakak sangat jatuh hati dengan boneka itu dan tidak ingin menggantinya. Kebencianku mulai berkurang. Aku mau diajak main bersama bonekanya lagi.
Kadang boneka itu di letakkan agak lama di kosku, Katanya untuk menemaniku. Ku mulai suka dengan bonekanya, ku berharap kakak tidak menggantinya lagi. Aku sering menyampaikan keluh kesalku padanya, seperti boneka pada umumnya ia terus tersenyum, mungkin mulutnya memang telah dirancang untuk selalu tersenyum. Dia hanya tinggal di kosku satu malam, karena setelah itu kakak mengambilnya dariku.
Aneh sejak saat itu kakak jarang menghubungiku. Dia mulai jarang ke kosku. Dia mulai jarang mengajakku bermain dengan boneka lagi.
“Ah..mungkin kakak sudah besar, kakak sudah bosan main dengan boneka.”pikirku.
Tapi aku mulai risau, kakak tak lagi menemuiku, bahkan tak lagi menelponku. Aku menghubunginya beberapa kali tetapi selalu non-aktif. Aku ketakutan, takut terjadi sesuatu dengan kakak. Aku mulai kesepian, merindukan kakak dan boneka yang kakak bawa.
Sungguh kakak bukan banci walau ia suka bermain boneka. Kakak orang baik. Kakak sebenarnya sangat pengasih. Tapi kakak hanya pernah bercerita tentang ibunya. Katanya dulu, dia sangat mencintai mobil-mobilan dan sama sekali tidak tertarik dengan boneka. Begitu pula papanya. Papanya juga penggemar mobil-mobilan. Papanya memiliki mobil-mobilan dengan gaya-gaya terbaru. Tapi suatu hari papanya tidak membeli lagi mobil terbaru, katanya papa tak punya uang lagi. Dia dan mamanya menangis. Yang lebih menyakitkan lagi mobil-mobilan dan mainan mama yang penuh kerlap kemewahan harus dijual. Sebulan dua-bulan, mama tak lagi suka mengoleksi mainan pengisi peti kecilnya, mamanya lebih suka menyendiri dan melamun. Hingga suatu saat mamanya harus pergi karena tertarik untuk bermain mobil-mobilan dengan orang yang tak pernah dikenalnya. Mama menitipkannya pada papa, papa yang merasa sebagai seorang lelaki yang gagal, yang tidak lagi mempunyai mobil-mobilan memperbolehkan mama pergi. Sejak saat itu papanya dan dia suka boneka. Katanya boneka lebih cantik dan tidak rewel, boneka juga bisa dibeli di mana saja, ada yang di mall, ada yang di pasar, tetapi terkadang ada juga boneka yang gratis. Ah..rasanya yang terakhir aku tak percaya. Di dunia bukankah semua hal telah menjadi komersil? Bahkan yang bukan benda saja telah dikomersilkan? Rasanya tak percaya bahwa ada boneka yang gratis, pasti aku akan mengambilnya lebih dari selusin.
Kakak…sebenarnya kamu sedang dimana? Dengan siapa? Sedang berbuat apa? Aku benar-benar merindukannya. Aku merindukan bermain-main bersamanya dan di dongenginya. Aku rindu di dongengi dia tentang kerajaan sihir, dimana raja sihir mampu menyihir benda mati menjadi benda hidup dan menyihir benda hidup menjadi benda mati. Suatu kali dia mendongengiku manusia yang disihir oleh raja sihir menjadi batu, karena ia selalu diam ketika ditanya. Dia juga pernah bercerita tentang manusia yang disihir menjadi petir, karena suaranya mengganggu tidur sang raja. Aku sadari aku benar-benar merindukannya.
Akhirnya ku beranikan diri ke kosnya. Seperti dalam cerita sihir, ku lihat boneka di ruang tamunya itu bergerak-gerak, bergoyang-goyang bahkan bisa berbicara. Aku ketakutan sekaligus tahu mengapa kakak tak pernah mengunjungiku lagi. Melihatku boneka itu kembali diam. Aku marah, merasa selama ini telah dibohongi sekaligus beberapa hari ini dilupakan. Tapi kakakku segera mencegahku pergi sambil berbisik,”Jangan takut, itu boneka biasa yang ada di mana-mana.” Aku tak menjawab apa-apa dan ia berkata lagi padaku,”Kadang aku bosan dengan boneka itu, bagaimana kalau kapan-kapan kita bermain bersama, tanpa boneka! Dan hanya kita berdua?”
Keningku berkerut, aku tetap diam, dan seolah terdengar mantra di sebrang sana yanaku uaiauakulaika ana yuhibu anta mantra yang mampu mengubah seseorang menjadi benda mati. BONEKA.