Pages

RSS

Selamat datang di Cermin Sebuah Titik
Refleksi Sunyi
Sunyi tak selamanya sepi
Sendiri hanya 'tuk mengenali pribadi
Dyah Prabaningrum (D*pra)

Selasa, 17 Mei 2011

LELAKIKU YANG MANJA (Flash Fiction)


Oleh Dyah Prabaningrum

Seharusnya memang seperti inilah yang terjadi. Kau lelakiku yang manja tak lagi menelpon atau meng-smsku. Ehm..bila ku ingat tentangmu, yang selalu mengutarakan apapun yang kau alami seharian, yang selalu memintaku mengechek tugas-tugasmu meski kau sadar aku lain jurusan denganmu, yang selalu memintaku untuk menemanimu ke kampus saat kamu bermasalah dengan nilai-nilaimu, ah...ku rasa kau malah memperlakukanku seperti seorang ibu. Kadang bahkan sering kau sms aku hanya untuk mengecheck bagamana kabarku, padahal malamnya kita telah bertemu, kau selalu meminta aku menerangkan pula hari-hariku, namun ketika aku berkata,"Kau dulu yang ceritakan apa saja yang terjjadi padamu hari ini?" kau akan bercerita tanpa henti dan lupa untuk balik bertanya padaku lagi lantas di sisimu aku akan diam sembari mengamati dengan jelas lekuk wajah yang Tuhan ciptakan secara sempurna.

HAHAHAHAHAHA...bukan, bukan karena kau tampan aku ada untukmu, tentu saja bukan karena itu, tapi aku juga tak pernah tahu mengapa. Oh apakah dulu aku jatuh cinta padamu? sebuah tanya yang sampai detik ini tak mampu ku jawab, yang pasti aku merasa dengan di dekatmu aku fungsikan dengan benar dua telingaku. Begitulah dulu, hari-hariku di isi sms tentangmu, lebih tepatnya tentang kegiatanmu, dan kaupun selalu memerhatikanku seolah kakak yang mencemaskan adiknya. Pernah kau katakan padaku,"Kau seperti ibuku." Aku cukup tersenyum mendengarnya. Ehem.. aku juga ingat, kau juga sering mengundangku hanya untuk menungguimu bermain PS dengan temanmu, kau cukup pintar, kau akan sediakan makanan kesukaanku dan setumpuk majalah, kadang aku bertanya dalam hatiku,"Untuk apa pula ku menungguimu bermain PS? padahal jelas sudah kau dan temanmu takkan memedulikan aku, lebih peduli dengan stick PS yang kau mainkan." Atas pertanyaan dan keraguan dalam tindakanku, aku hanya menggeleng pelan.

Terkadang kau juga tiba-tiba memintaku memasakkanmu, ku kerjai kau, ku masakkan sarden, katamu enak sekali, dan aku hanya tertawa terbahak. Banyak hal yang seharusnya menjadi kenangan indah kita atau mungkin satu hal saja yang kau kenang tapi belum ku catatat sebelumnya, saat hujan yang aku benci mengguyur pelatan, kau tarik tanganku apahal tak sedikit mauku bersentuh dengan hujan itu. Tapi kau terus menarikku, hingga basah kuyup ku rasakan, dan kau mengerjai aku, menyipratkan air itu ke mataku, au...ku pun membalasnya dan kita bermain bersama hujan. Letih sesudah itu membuatmu berkata padaku,"Kau tahu bila kau terus membenci, tak kan kau temui bahagia inikan?" Lagi-lagi ku hanya bisa tersenyum mendengar tuturmu.

Hingga pada suatu masa yang tak ku maui. Kau menelponku lewat tengah malam, nadamu ketakutan, dan ku tanya,"Ada apa?" Kau katakan padaku,"Aku mau bertemu denganmu." Ku katakan,"Ini dah larut malam, tak mungkin ku keluar." Tapi di sana kau sungguh begitu ketakutan, ku tanya lembut,"Mengapa? sambil ku suruh tata emosimu." Akhirnya kau bercerita, lama ku dengar ceritamu ada nada resah, takut, dan kebingungan. Katamu, tiga bulan yang lalu kamu bertemu mantanmu, dan telah dua bulan ini ia tak menerima tamu yang tak rutin terjadi padanya walau rutin terjadi pada wanita. Tamu itu adalah tamu wanita sekaligus pertanda ada tidaknya sesuatu yang lain hidup di rahimnya. Kali ini ku rasa bukan nafasnya yang tersendat sendat, nafaskupun juga, entah kenapa aku merasa tertipu, di akhir cerita kau pinta maaf berkali-kali, tanpa kau tahu hujan yang aku benci membasahi wajahku.

Sejak saat itu ku putuskan untuk tidak membalas sms rutinmu, ku katakan cerita kita telah usai, ada wanita yang lebih berhak kau manjakan dan menjadi tempat manjamu.
Lelakiku... Percayalah, bukan aku tak mau menerimamu apa adanya, tapi lebih karena aku wanita, aku mempunyai hati yang sama dengan wanitamu kini.